Bab 104
"Dengarkan ibumu. Nggak perlu
pamer padaku dengan kemampuan bela dirimu yang seadanya itu," kata Adriel
sebelum pergi.
"Kamu yang punya kemampuan
seadanya! Berhenti di situ!" teriak Yasmin dengan marah, tetapi Adriel
tidak peduli lagi padanya.
"Ibu, sebenarnya apa yang
terjadi? Apa Ibu yang menyembuhkan matanya?" tanya Yasmin.
Ana menggeleng dan menjawab,
"Bukan."
"Lalu, siapa yang
menyembuhkannya? Dan apa benar Bibi Tania dipukul olehnya? Mana mungkin? Bibi
Tania adalah ahli tingkat tiga.
Yasmin benar-benar tidak mengerti.
"Malam itu, dia dibuang ke
Sungai Silas dan diselamatkan oleh seorang ahli. Orang itu nggak hanya
menyembuhkan matanya, tapi juga mengajarinya ilmu bela diri," jelas Ana.
"Dasar sialan! Bukan hanya
beruntung soal nyawa, tapi juga beruntung soal pelatihan!" kata Yasmin
dengan penuh kesinisan.
"Yasmin, jangan lagi mencari
masalah dengannya. Biar saja kita hidup berdampingan dengan damai," kata
Ana.
"Ibu, kita bisa menyewa seorang
ahli untuk membunuhnya. Kalau nggak, dia pasti akan balas dendam. Selama dua
tahun ini, kita sudah sangat menyiksanya," kata Yasmin dengan kejam.
"Cukup! Kamu nggak perlu
pikirkan hal ini. Kamu hanya perlu ingat apa yang Ibu katakan," ujar Ana
dengan tegas.
"Selain itu, ada banyak masalah
di perusahaan akhir-akhir ini. Ibu sarigat sibuk. Kalau nggak ada urusan
penting, jangan pulang, tinggal saja di sekolah," lanjut Ana.
Kehilangan kerja sama dengan Grup
Jahaya memang membawa banyak masalah bagi Ana. Bukan hanya tekanan dari para
pemegang saham, tetapi juga beberapa perusahaan mitra yang mulai ragu dan
bertingkah.
Mereka mulai menunda pembayaran atau
bahkan mengajukan penghentian kerja sama. Hal ini membuat Ana sangat stres.
"Ibu, aku nggak mau tinggal di
sekolah. Aku ingin di rumah supaya bisa menemani Ibu juga," rengek Yasmin.
"Kamu sekarang sudah berani
melawan, ya? " ujar Ana dengan nada dingin.
"Kembali sekarang,"
perintah Ana.
Yasmin tidak punya pilihan lain.
Dengan bibir cemberut, dia keluar dari rumah.
"Apa yang terjadi dengan Ibu
akhir-akhir Ini? Dia kelihatan aneh. Apa ini karena menopause dini? Sepertinya
aku harus segera mencarikan Ibu pasangan," pikir Yasmin.
Dia memutuskan untuk mencari ayah
tiri sendiri.
Adriel tidak meninggalkan kompleks
perumahan. Setelah melihat mobil Yasmin pergi, dia kembali ke rumah.
Ana duduk di sofa sambil menopang
kepalanya dengan satu tangan. Dia terlihat lelah.
"Kamu terlihat lelah," kata
Adriel sambil duduk di sampingnya.
"Nggak apa-apa," kata Ana
sambil mencoba tersenyum.
"Aku bisa memijatmu. Itu bisa
meredakan kelelahan," tawar Adriel.
Dia berjalan ke belakang Ana dan
mulai memijat titik-titik akupuntur dengan tepat. Tekanan yang dia berikan
sangat tepat, membuat Ana secara bertahan merasa rileks dan nyaman.
Setelah sekitar sepuluh menit, Ana
hampir tertidur.
"Ah... nyaman sekali,"
katanya sambil bangkit dan meregangkan tubuh. Rasa lelahnya hilang seketika.
"Ternyata kamu bisa memijat.
Teknikmu bahkan lebih baik daripada terapis di spa," puji Ana.
"Aku bisa banyak hal. Kamu akan
mengetahuinya seiring waktu," kata Adriel sambil tersenyum.
"Aku belum makan malam. Sudah
lama aku nggak makan masakanmu. Bagaimana kalau kamu memasak untukku sebagai
ganti aku
memijatmu?" tanya Adriel.
"Bukankah dulu kamu suka
mengeluh masakanku nggak enak dan nggak sehebat masakan Bu Sri?" keluh Ana
sambil cemberut.
"Itu waktu aku masih muda dan
bodoh. Seperti kata pepatah, saat muda kita nggak tahu ada intan di depan mata
dan malah mengira batu kerikil adalah berlian," canda Adriel.
"Dasar tukang gombal," ujar
Ana sambil menggelengkan kepala, lalu naik ke atas untuk berganti pakaian.
Dia turun dengan mengenakan gaun
tidur tipis yang seksi, mengikat rambutnya, dan memakai apron. Seketika dia
tampak seperti ibu rumah tangga yang anggun.
Adriel mengikutinya ke dapur. Ana
tidak bisa memasak hidangan yang terlalu rumit, jadi dia hanya menyiapkan
masakan rumah yang sederhana.
Adriel memeluk Ana dari belakang.
"Apa yang kamu lakukan?
Lepaskan, bukankah kamu ingin aku memasak?" kata Ana.
"Aku nggak mau makan telur
ceplok," kata Adriel.
"Lalu, kamu mau makan apa? Aku
mungkin nggak bisa memasaknya," jawab Ana.
"Aku mau makan..."
No comments: