Bab 107
"Aku ... nggak "ucap Vivi
dengan pelan.
"Kak Adriel, ganti orang saja.
Kita keluar untuk bersenang-senang. Tapi lihat dia, kelakuannya seperti
pelanggan saja," sanggah Ebert.
"Nggak apa, aku suka yang
seperti ini," jawab Adriel.
Selvi yang di samping berinisiatif
memilih lagu, menuang bir, mengajak minum, serta menyuapi camilan dan buah
dengan sangat ramah. Kegiatan di tangannya tidak pernah ada hentinya. Sesekali,
dia menggoda bagian tubuh Adriel yang sensitif dan melontarkan tatapan yang
memikat.
Tidak heran Selvi adalah salah satu
wanita yang terbaik, memang tidak ada yang bisa dikritik.
Adriel juga bukan pria yang baik.
Pertama kali masuk ke tempat seperti ini memang terasa menarik.
Ebert sudah sangat berpengalaman dan
lihai dalam bermain. Satu tangannya sudah diulur ke dalam baju seorang wanita.
Dia memainkannya dengan senang sambil bernyanyi dengan mikrofon di tangan
lainnya.
"Vivian, tuangkan minum untuk
Kak Adriel. Kenapa kamu bengong saja?" suruh Selvi.
"Sudahlah, nggak usah paksa dia.
Biarkan dia duduk di sana saja," ujar Adriel.
Selvi pun merasa bingung. Adriel
sudah mengeluarkan uang untuk memesan Vivian, tetapi malah membiarkan dia duduk
di samping tanpa melakukan apa-apa. Ini bukan perilaku pelanggan biasanya.
Tamu yang datang bermain ke Istana
Phoenix kaya raya. Kebanyakan dari mereka bertemperamen buruk dan sulit
dilayani.
Dengan sifat seperti ini, jika
bertemu dengan tamu yang agak sulit, mungkin Vivian sudah ditampar mereka.
Semua orang bernyanyi sebentar, lalu
mulai bermain berbagai permainan yang menggairahkan. Hanya Vivian yang duduk
sendirian di sofa dan tidak ikut bermain. Adriel juga tidak marah dan tidak
memedulikannya sama sekali.
Bahkan, Ebert tidak bisa menahan diri
dan bertanya kepada Adriel apa yang terjadi dan apakah lelaki itu mau ganti
pasangan lain.
Namun, Adriel tetap bersikeras tidak
mau menggantinya.
Di lantai atas Istana Phoenix,
tepatnya di Hotel Phoenix. Setelah keluar dari lift, Lisa merasa ragu di lorong
selama beberapa saat. Kemudian, dia menerima sebuah pesan di ponselnya. Dia
melihat pesan itu sebentar dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Lalu, dia
berjalan ke depan sebuah kamar President Suite dan membuka pintunya dengan
kartu.
"Kenapa kamu baru datang? Aku
sudah lama menunggumu."
Di dalam kamar, Wiryo mengenakan
jubah tidur dan menjepit sebatang cerutu di antara jarinya. Di atas meja teh di
hadapannya, terdapat sebotol anggur merah dan seikat bunga yang sangat indah.
"Aku ... ada sedikit urusan di
jalan, jadi terlambat," ujar Lisa yang terlihat gugup sembari menggosok
kedua tangannya.
"Yang penting kamu sudah datang.
Ini bunga untukmu. Apa kamu suka?"
Wiryo mematikan cerutunya dan membawa
bunganya kemari.
"Su... suka," jawab Lisa
dengan tidak tulus. "Masih ada kejutan di dalam bunga ini," ucap
Wiryo.
Lisa menemukan sebuah kotak di antara
bunga. Setelah membukanya, di dalamnya ada sebuah kalung berlian yang terlihat
sangat mahal.
"Aku membeli kalung berlian ini
seharga empat miliar lebih. Aku rasa kamu pasti akan sangat cantik saat
memakainya. Ini sangat cocok denganmu. Mari, kubantu pakaikan."
Wiryo mengeluarkan kalungnya. Berlian
di atasnya memancarkan cahaya biru yang indah dan memesona. Wanita mana yang
tidak suka melihat benda yang berkilau seperti itu?
Kalung ini memang seharga empat
miliar lebih. Namun, Wiryo tidak membelinya khusus untuk Lisa, melainkan untuk
semua sekretaris pribadinya.
Setelah puas bermain, dia akan
memberi sejumlah uang dan menyuruhnya pergi. Kalung itu pun akan dimintanya
kembali.
Lisa bukan pemilik pertamanya, juga
tidak akan menjadi pemilik terakhir kalung tersebut.
No comments: