Bab 36
Adriel tersenyum tipis, dia juga
sedikit menantikan pesta ulang tahun malam ini.
Adriel mengemudi ke Hotel
Internasional Jahaya, hotel terbesar di Kota Silas.
Hotel Internasional Jahaya adalah
bagian dari Grup Jahaya keluarga Millano, yang sudah siap sejak lama.
Di tempat parkir hotel banyak mobil
mewah berderetan, hampir semua orang terkenal di Kota Silas akan hadir untuk
merayakan ulang tahun.
Setelah Adriel memarkirkan mobilnya,
dia berjalan menuju ke lift dan kebetulan bertemu dengan Fanny dan ibunya, Sri,
yang sedang menunggu lift juga.
"Kenapa kamu ada di sini
juga?"
Raut wajah Fanny terlihat sombong.
Sri melihat Adriel sekilas, tidak mau
bicara dengan Adriel, seolah-olah tidak mengenalnya sama sekali.
"Apa urusannya denganmu?"
Adriel juga tidak segan-segan
mengatakannya.
"Sepertinya wanita itu yang
membawamu ke sini, 'kan? Tempat mewah seperti ini, pesta ulang tahun yang
begitu meriah, bukanlah tempat bagi gigolo yang hidup dari nafkah orang
lain."
Ini juga pertama kalinya Fanny
menghadiri pesta ulang tahun keluarga Millano dan dia sengaja mengenakan gaun
yang sangat cantik dan membuat dirinya terlihat menarik.
"Kamu pikir dengan mengenakan
pakaian bermerk dan berpura-pura menjadi orang berpengaruh, kamu memiliki hak
untuk masuk ke tempat ini? Sungguh nggak tahu malu."
"Heh ... Kalian datang ke sini
hanya untuk menjilat keluarga Millano, bukan? Dari mana kamu mendapat perasaan
superioritas itu?"
Satu kalimat dari Adriel membuat
Fanny terdiam.
"Adriel, sudah dua tahun nggak
bertemu. Kamu nggak punya kemampuan apa pun tapi belajar untuk menjadi licik
dan berkata-kata tajam. Kamu harus ingat, kami nggak lagi satu level denganmu.
Kamu harus menundukkan kepalamu di depan kami."
Sri mengatakan dengan tidak senang.
"Mohon maaf, aku keras kepala
dan nggak bisa menundukkan kepala. Selain itu, aku lebih suka berbicara tajam
dari pada menjadi orang yang sinis dan lupa berterima kasih."
Adriel membalas dengan nada sarkasme.
"Kamu!"
Sri sangat marah, layaknya seekor
kucing yang buntutnya diinjak.
"Adriel, ini benar-benar
kamu?"
Pada saat itu, Cheky yang telah
memarkir mobilnya masuk ke dalam lift dengan wajah yang penuh kegembiraan.
"Dua tahun nggak bertemu, kamu
sudah menjadi lebih dewasa. Sini, biarkan Paman melihatmu."
Cheky mengangkat kedua tangannya,
bersiap-siap untuk menepuk bahu Adriel, tetapi pria itu mundur satu langkah
untuk menghindar.
Cheky menarik tangannya kembali
dengan canggung, lalu berkata, "Selama dua tahun ini, kamu sudah banyak
menderita. Paman tahu, kamu dendam padaku dan memang Paman yang nggak cukup baik.
Maafkan Paman untuk orangtuamu yang sudah meninggal."
"Cheky Lein, jangan berpura-pura
di depanku. Kamu nggak pantas menyebut orangtuaku."
Adriel berkata dengan suara dingin.
"Ayah, kenapa repot-repot
berbicara dengan orang seperti dia? Hidup dan matinya nggak ada hubungannya
dengan kita."
Fanny berkata.
"Diam! Michael telah berjasa
kepada keluarga kita. Tanpa Michael, kita nggak akan bisa seperti sekarang.
Sebagai manusia, kita nggak boleh melupakan kebaikan, apalagi melupakan
asal-usul kita."
Cheky memarahi.
Adriel penuh dengan sikap meremehkan,
dia merasa kalau Cheky terlalu munafik.
"Sudahlah, ayo kita segera
naik."
Sri tidak ingin terlalu banyak
terlibat dengan Adriel, dia mendesak.
"Kalian naik duluan, aku ingin
berbicara dengan Adriel," kata Cheky.
"Nggak ada yang perlu aku
bicarakan denganmu."
Adriel berkata dengan dingin.
Sri membawa Fanny masuk ke dalam lift
dan Cheky menarik Adriel ke samping dengan wajah penuh penyesalan.
"Adriel, wajar kalau kamu dendam
padaku. Dua tahu ini, Paman nggak punya kesempatan untuk bertemu denganmu.
Sekarang kita sudah bertemu, ada beberapa hal yang harus Paman katakan."
Adriel tidak menunjukkan ekspresi,
dengan angkuh berkata, "Baik! Katakan saja, aku ingin mendengar apa yang
ingin kamu katakan."
No comments: