Bab 37
"Adriel, Paman benar-benar
menyesal. Seharusnya dulu Paman nggak menyetujui membatalkan pertunangan,
dengan begitu kamu nggak akan jatuh dalam perjudian dan kecanduan narkoba. Ini
semua salahku."
Cheky bekata dengan wajah yang penuh
penyesalan.
"Kamu benar-benar munafik!
Bukannya dulu kamu yang mengingkari janji, memaksa untuk membatalkan
pertunangan?"
Adriel tertawa dingin.
"Bagaimana mungkin Paman
membatalkan pertunangan! Itu semua usul Ana," kata Cheky.
"Hah? Apa yang kamu
katakan?"
Adriel mengerutkan keningnya.
"Nggak lama setelah orang tuamu
meninggal, Ana datang menemuiku dan mengatakan ingin membatalkan pertunangan.
Paman nggak setuju. Dia mengatakan itu adalah wasiat terakhir ayahmu, agar kamu
menikahi putrinya, Yasmin."
"Ana juga mengatakan kamu juga
setuju membatalkan pertunangan, nggak mau menikah dengan Fanny. Paman pun
menyetujuinya karena berpikir ini adalah wasiat terakhir Michael."
Setelah mendengar penjelasan Cheky,
Adriel mengerutkan keningnya. Dia mulai berpikir apa perkataan Cheky itu benar
atau tidak.
Dulu Ana memberi tahunya kalau Cheky
yang mengingkari janji, bersikeras untuk membatalkan pertunangan.
Sekarang, Cheky mengatakan hal yang
berbeda.
Apa mungkin Ana yang menipu kedua
belah pihak?
"Lalu Paman mendengar kalau kamu
kecanduan judi dan narkoba, aku pun mencari Ana dan bertengkar dengannya,
memintanya untuk menyerahkanmu padaku agar Paman bisa merawatmu. Tapi Ana nggak
setuju, dia mengatakan kalau dia sudah mengirimmu ke luar negeri untuk
melanjutkan studi. Dia pun nggak mau memberikan kontakmu pada Paman."
"Sekarang, Paman curiga kalau
ini semua adalah konspirasi Ana. Dia sengaja membuatmu jatuh, mengirimmu ke
luar negeri dan dengan statusnya sebagai mertuamu, dia bisa mendapatkan semua
sahammu dengan mudah dan menguasai seluruh Grup Bintang."
"Adriel, Ana adalah wanita yang
licik. Dia banyak akal, kamu harus berhati-hati dan jangan terlalu
memercayainya."
Cheky berkata dengan serius dan
tulus.
Otot di wajah Adriel sedikit
berkedut, tiba- tiba menyadari dan akhirnya mengerti kebenarannya.
"Jadi, dari awal sampai akhir
Ana yang bermain di tengah pihak. Dia yang mengatakan padaku kalau kamu yang
nggak tahu terima kasih, bersikeras untuk membatalkan pertunagan dan memutuskan
hubungan."
Kemarahan kembali meluap di dalam
hati Adriel.
Dalam dua tahun terakhir, mereka
semua dipermainkan oleh Ana.
"Adriel, Paman mengenalmu sejak
kecil. Kamu tahu bagaimana sifat Paman, 'kan? Apa kamu nggak mengerti sedikit
pun?"
"Michael sudah berjasa besar
dalam hidup Paman, bagaimana mungkin aku melakukan hal yang nggak tahu balas
budi seperti itu!"
"Kalau kamu nggak percaya, Paman
bisa bersumpah. Semua yang kukatakan tadi adalah kebenaran, nggak ada sedikit
pun yang dibuat-buat. Kalau berbohong, Paman nggak akan mati dengan baik."
kata Cheky dengan penuh emosi.
"Paman Cheky, aku percaya
padamu."
Awalnya Adriel memang sedikit ragu,
tidak terlalu yakin kalau Cheky adalah orang yang tidak tahu balas budi.
Akan tetapi Adriel terlalu percaya
pada Ana dan saat orang tuanya meninggal, dia emosian dan akhirnya tertipu oleh
Ana.
"Baguslah kalau kamu percaya. Bu
Sri juga sebenarnya bukan orang yang jahat, hanya saja dia mendengar kamu
pecandu, jadi sekarang dia berprasangka buruk padamu."
"Tentang Fanny, anak ini memang
sedikit pemberontak dan sombong. Kamu jangan mempermasalahkannya, ya. Paman
akan mengajarinya dengan baik."
Adriel menghela napas panjang,
tiba-tiba hatinya merasa jauh lebih lega.
"Paman Cheky tenang saja, aku
nggak akan mempermasalahkannya."
"Baguslah. Oh iya, Paman dengar
dari Fanny kalau dia kemarin bertemu denganmu. Kamu sedang bersama dengan
seorang wanita?"
Cheky bertanya.
"Memang benar." Adriel
mengangguk.
"Adriel, maaf kalau ucapan Paman
agak kasar. Kita sebagai pria, harus mengandalkan kemampuan sendiri, berjuang
untuk karir. Kita nggak bisa mengandalkan wanita, apa lagi kalau terdengar,
nggak akan bagus."
No comments: