Bab 56
Di perjalanan ke rumah sakit, Fanny
menelepon Sri untuk menjelaskan situasinya.
"Apa? Adriel memukul Thomas
hingga terluka parah? Binatang kecil ini iri dengan kehidupan kita, dia sengaja
menyakiti kita!"
Sri sangat marah setelah mendengar
penjelasan putrinya.
"Ibu, sekarang apa yang harus
kita lakukan?" tanya Fanny sambil menangis.
"Fanny, kamu jangan panik. Bukan
kita yang memukuli Thomas, aku dan ayahmu akan segera ke rumah sakit."
Setelah menutup telepon, Sri segera
pergi ke ruang kerja untuk mencari Cheky.
"Ada apa?" tanya Cheky.
Sri membanting komputer di atas meja
Cheky dan menjatuhkannya ke lantai.
"Terjadi masalah besar!"
"Meski ada masalah nggak usah
sampai membanting komputerku. Aku sedang membuat proposal kerja sama untuk
pertemuan besok di Grup Jahaya!"
Cheky juga agak marah, dia
mengatakannya dengan wajah marah.
"Rencana apa yang mau kamu buat!
Kerja sama mungkin akan gagal. Keponakan yang ingin kamu jaga dengan baik, si
binatang Adriel ini memukul Thomas hingga terluka parah, sekarang sedang dalam
perawatan di rumah sakit!"
Sri marah besar sampai mengumpat
dengan kasar.
"Adriel memukul Thomas? Nggak
mungkin!"
Cheky juga terkejut hingga tampak
keterkejutan di wajahnya.
"Kenapa nggak bisa! Baru saja
Fanny memberitahuku lewat telepon, kamu pikir ucapannya palsu? Cheky, aku kasih
tahu, ya. Kalau kamu masih membicarakan tentang merawat si binatang Adriel ini,
aku mau cerai denganmu!"
"Si binatang sialan ini nggak
suka lihat kita bahagia. Kamu masih saja mengingat tentang hubungan paman dan
keponakan yang nggak berguna itu."
Cheky juga menyadari seriusnya
situasi ini, jadi dia agak panik.
"Aku akan menelepon Adriel untuk
menanyakan detailnya."
"Masih menelepon apa lagi! Kamu
mau tanya apa sama dia? Ayo segera ke rumah sakit! Selain itu, hubungi Pak
Arkan dan minta dia untuk menangani langsung si binatang itu, lalu serahkan
pengurusannya pada keluarga Santoso, kalau nggak kita juga ikut habis!"
Sri juga berusaha mencari solusi
darurat untuk mengatasi masalah ini.
"Ini... " Cheky tampak
kesulitan.
"Telepon!" teriak Sri.
"Sekarang nggak ada gunanya
menelepon Pak Arkan, Adriel sudah membuat masalah besar, pasti dia bersembunyi,
terus kita mau mencari dia di mana? Kita ke rumah sakit dulu, nanti aku akan
pelan -pelan menghubungi Adriel. Aku akan tanyakan di mana persembunyiannya
lalu menangkapnya."
Cheky memikirkan strategi penundaan agar
meredakan kemarahan Sri.
"Cheky, aku kasih tahu, ya! Kali
ini, jika kamu masih ragu-ragu dan terus mengingat perasaan masa lalu yang
nggak berguna itu, keluarga kita akan hancur."
Usai berkata demikian, Sri keluar
dengan membanting pintu, kemudian meminta Johan mengemudi untuk mengantarkan
mereka ke rumah sakit.
"Adriel, kok bisa kamu membuat
masalah sebesar ini untukku. Sekarang, aku juga nggak bisa melindungimu
lagi!"
Cheky mengentakkan kakinya dengan
wajah penuh kecemasan.
Di dalam bar, Adriel dan Yunna hampir
selesai minum dan bersiap-siap untuk pergi.
"Aku minum, jadi nggak bisa
nyetir. Bisa antar aku pulang?"
Wajah Yunna sedikit memerah yang
sepertinya dalam keadaan mabuk. Mabuk membuat matanya lebih berair dan kabur,
dengan sedikit napas yang menggoda, satu tangan diletakkan di bahu Adriel.
"Kapasitas minummu begitu, kamu
nggak mungkin mabuk, 'kan?" kata Adriel.
"Aku sengaja mabuk buat kasih
kamu kesempatan mengantarku pulang, memangnya kamu nggak mau?"
Yunna juga tidak tahu apakah dia benar
- benar mabuk atau pura-pura mabuk. Dia bersandar di pundak Adriel dengan
mengeluarkan napas alkohol yang samar- samar, suaranya membuat Adriel sulit
untuk tidak tergoda.
Adriel membuka pintu mobil dan
mempersilakan Yunna masuk.
Pada saat ini, tiga pria berotot
berpakaian hitam turun dari mobil di sebelah dan mengelilingi Adriel dan Yunna.
"Nona Yunna, tolong ikuti kami
sebentar, bos kami ingin bertemu denganmu."
No comments: