Bab 1128
Elin menatap ayahnya dengan tatapan
dingin.
"Kamu ini..."
Hugo memandang Elin dengan wajah yang
tampak sulit memercayai ini. Anak perempuannya yang selalu hormat dan patuh,
tiba-tiba tampak begitu asing!
Namun, dengan ponsel di tangan Elin
yang memberi tekanan besar, Hugo tidak kuasa menahan diri. Dia terpaksa menekuk
lututnya, menahan rasa malu, lalu perlahan-lahan berlutut. Hanya saja, matanya
tampak penuh dengan amarah dan kebencian!
"Kamu masih nggak terima? Untuk
siapa kamu menunjukkan wajah masam itu?" ujar Elin sambil menamparnya
lagi.
"Aku, aku..." jawab Hugo.
Meski Hugo merasa sangat marah, ketika melihat ponsel di tangan Elin, dia hanya
bisa menarik sudut bibirnya dengan kaku, memaksakan senyuman!
"Mulai sekarang, setiap kali
kamu melihatku, kamu harus berlutut! Sekarang, pergilah!" kata Elin dengan
nada dingin.
Baru setelah itu, Hugo bangkit dengan
langkah terhuyung-huyung, lalu pergi dari sana dengan ekspresi muram.
"Kakak, apa kalian juga merasa
nggak puas?" tanya Elin dengan acuh tidak acuh.
Kakak tertuanya buru-buru menjawab
dengan ketakutan, "Elin, kemampuan dan kekuatanmu jauh di atas kami. Kamu
memang layak menjadi pemimpin keluarga, aku menerima semua ini
sepenuhnya."
Kakak keduanya juga segera
menambahkan, " Aturan keluarga memang harus diubah. Posisi pemimpin
keluarga seharusnya diduduki oleh yang memiliki kemampuan. Kalau kamu menjadi
pemimpin keluarga, semua orang pasti akan mendukungmu!"
Melihat kedua kakaknya, yang biasanya
meremehkannya, kini tampak penuh dengan kepatuhan, senyuman sinis muncul di
sudut bibir Elin.
"Kalian sebaiknya bersikap
tulus. Kalau aku tahu kalian diam-diam melakukan hal licik, jangan salahkan aku
kalau aku nggak menganggap hubungan darah, lalu menjadikan kalian sebagai
contoh untuk yang lain!" perintah Elin.
Keduanya langsung ketakutan,
buru-buru mengucapkan janji dengan gemetaran. Lalu, mereka pun pergi dengan
penuh rasa cemas!
"Apa lagi yang kalian lihat?
Pergi dari sini!" teriak Elin dengan marah sembari menoleh ke arah para
anggota keluarga Forez lainnya yang masih terpana.
"Tapi... mayat leluhur..."
ujar salah satu anggota keluarga Forez dengan ragu.
"Aku yang akan
mengurusnya," jawab Elin dengan nada dingin.
Setelah semua orang pergi, Elin
berjalan mendekati tubuh tidak berkepala milik Aldo. Elin merobek daging Aldo
untuk mengambil jantungnya dengan wajah dingin, lalu menyimpannya dengan
hati-hati!
"Aldo! Akhirnya kamu mengalami
hari seperti ini! Kamu juga mati!"
Lalu, dengan ekspresi kejam penuh
kebahagiaan, Elin memukul dan menendang mayat itu. Dia menggunakan energi
sejatinya untuk menghancurkan tubuh tersebut!
Ketika Elin menyiksa mayat Aldo,
ekspresi kebahagiaan tampak makin intens di wajahnya. Namun, entah kenapa air
mata mulai mengalir di wajahnya.
Setelah bertahun-tahun menahan
perasaan ini, akhirnya ketika dendam terbalaskan, wajah cantiknya tampak seolah
menangis sambil tersenyum setelah semua kemarahannya disalurkan. Elin bergumam,
"Adriel, terima kasih... Terima kasih... "
Semua kebencian, rasa sakit,
ketidakpuasan, serta kemarahan yang telah Elin tahan selama lebih dari dua
puluh tahun, akhirnya bisa tersalurkan sepenuhnya pada saat ini.
Di dalam mobil.
Adriel, yang tidak tahu bahwa ada seorang
wanita yang sedang mengamuk pada mayat Aldo, memandang Gary Tak Terkalahkan
dengan penasaran. Lalu, dia bertanya, "Paman Gary, sepertinya kamu punya
cerita dengan Ayah Kevin."
Bagaimanapun juga, dengan temperamen
Gary Tak Terkalahkan, jika ada seseorang membantunya, dia pasti akan pergi
sendiri untuk berterima kasih. Namun, kali ini Gary Tak Terkalahkan terus
menolak. Hal ini memang terlihat mencurigakan
Namun, ekspresi Gary Tak Terkalahkan
tampak agak rumit, seperti sedang mengingat sesuatu. Setelah beberapa saat, dia
berkata dengan suara rendah, "Dulu, keluarga Lavali sangat berjaya di
bawah kepemimpinan Kakak. Ayah Kevin, Guda Buana, adalah rekan seperjuanganku.
Kami memiliki hubungan yang baik. Lalu, saat keluarga Lavali mengalami
kemunduran, keluarga Buana menjadi makin berkembang. Dia ingin merekrutku,
mengajakku untuk bergabung dengan keluarga Buana."
Mendengar ini, Adriel hanya terdiam.
Namun, dalam hatinya dia mulai bisa memahami perasaan Gary Tak Terkalahkan.
Adriel pun menghela napas.
Teman seperjuangan dari masa lalu
menjadi makin sukses. Meski Gary telah mencapai banyak hal, jarak antara
dirinya dan Guda terlalu besar. Bahkan Gary pernah diajak bergabung untuk
bekerja di bawahnya. Tentu ini akan membuat siapa pun merasa sedih.
"Apa yang kamu pikirkan? Aku
nggak peduli soal perbedaan itu. Kalau teman seperjuanganku bisa hidup dengan
baik, aku akan merasa senang untuk mereka."
Gary Tak Terkalahkan berbicara dengan
nada ringan, tetapi dia hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan sedikit
kelelahan. Dia melanjutkan, "Hanya saja, Guda yang dulu masih penuh
semangat, sudah berubah hanya dalam beberapa tahun terakhir ini. Dia terlalu
mementingkan keuntungan."
Gary berujar, "Teman
seperjuangan yang dulu dia rekrut ada cukup banyak. Aku pernah melihat
bagaimana beberapa di antaranya, yang dulu memiliki hubungan baik dengannya,
dihina di depan umum serta diperlakukan seperti bawahan. Ini sangat membuatku
merasa nggak nyaman. Persahabatan di medan perang telah berubah. Jadi aku nggak
mau banyak berurusan dengannya..."
No comments: