Bab 113
Ebert sebenarnya juga merasa marah di
dalam hatinya. Awalnya, dia mengajak Adriel untuk mencari hiburan bersama-sama.
Hanya saja, pelayan wanita itu direbut di tengah jalan dan hal ini membuat
dirinya merasa malu di depan Adriel.
"Baik. Aku akan segera mengaturnya,"
ujar si muncikari sambil menatap Vivian dengan penuh amarah. Dia akan
memberinya hukuman setelah selesai bekerja nanti.
Saat ini, pintu ruang VIP tiba-tiba
terbuka dan Selvi berjalan masuk ke dalam.
"Kenapa kamu kembali ke sini?
Bukankah kamu pergi melayani Pak Brodi?" tanya si muncikari.
Selvi berkata, "Pak Ebert, Pak
Brodi memanggilmu."
Ebert terkejut, lalu bertanya
kebingungan, " Untuk apa Pak Brodi memanggilku?"
Ebert tahu jelas akan kemampuannya
sendiri. Perusahaan kecil miliknya tidak mungkin bisa menarik perhatian Brodi.
Orang lain bahkan tidak berani menatap Brodi secara langsung, bagaimana mungkin
Brodi mengajaknya untuk minum bersama?
"Di ruang VIP Pak Brodi ada
seorang tamu yang bilang kalau dia adalah teman sekelasmu dan memiliki hubungan
yang baik denganmu. Jadi, dia mengajakmu untuk minum bersama di sana,"
jawab Selvi.
"Teman sekelasku? Siapa?"
tanya Ebert kebingungan.
"Aku nggak kenal orang itu, Pak
Ebert. Cepatlah ke sana," ujar Selvi.
Ebert berbalik dan berkata kepada Adriel,
" Kak Adriel, kalau orang itu memang teman sekelasku, kemungkinan besar
dia juga teman sekelasmu. Bagaimana kalau kita pergi ke sana dan sekalian
berkenalan dengan Pak Brodi? Ini juga bermanfaat bagi kita."
"Ayo ke sana," ujar Adriel.
Adriel bergegas bangkit, lalu berkata
kepada Vivian, "Ayo ikut denganku."
Meski Vivian terlihat agak enggan,
dia hanya bisa mengikuti perkataan Adriel setelah menyadari tatapannya yang
terlihat begitu menakutkan.
"Kak Adriel, apa yang membuatmu
tertarik dengannya? Meski terlihat cantik, wanita seperti ini nggak akan
berguna ketika di atas ranjang," bisik Ebert dengan suara pelan.
Adriel tersenyum sambil berkata,
"Aku sudah melihat banyak wanita yang menawan, tapi wanita ini memiliki
daya tarik yang berbeda."
Selvi dengan cepat membawa tiga orang
ini ke ruang VIP lain, lalu mengetuk pintu dan masuk ke dalam.
Di dalam ruangan itu ada belasan
orang dan salah satu di antaranya adalah temen sekelas Ebert yang bernama Diro.
"Kenapa Diro ada di sini?"
tanya Ebert.
Ekspresi Ebert berubah setelah
menyadari hal ini. Sebelumnya, Diro dan Adriel sempat bertengkar di obrolan
grup. Mereka pasti akan merasa canggung ketika bertemu.
"Kak Adriel, Diro ada di
sini," ujar Ebert.
"Kenapa? Apa kamu takut pada
Diro?" tanya Adriel sambil tersenyum.
"Aku nggak takut, tapi bukankah
kalian baru saja bertengkar? Aku khawatir kalau dia memiliki niat jahat,"
jawab Ebert dengan cemas.
"Nggak masalah," ujar
Adriel dengan tenang.
Diro juga tersenyum sinis setelah
melihat Ebert dan Adriel.
"Oh, Adriel? Kamu masih hidup?
Ternyata kita masih bisa bertemu," ejek Diro.
"Aku masih tetap akan hidup
ketika kamu mati nanti," ujar Adriel tanpa merasa segan.
Ekspresi Diro tiba-tiba menjadi
muram, tetapi dia dengan cepat meredam amarahnya. Dia lalu tersenyum dingin
sambil berkata, "Lihat saja nanti, Adriel. Aku akan membuatmu
menderita!"
Brodi bertanya, "Diro, dua orang
ini terman sekelasmu?"
"Benar, Pak Brodi. Biar aku
perkenalkan," jawab Diro.
Diro bangkit berdiri, lalu
memperkenalkan Ebert, "Pak Brodi, aku dengar Ebert memiliki kerja sama
dengan keluargamu. Kamu harus terus mendukungnya."
"Karena kamu sudah berkata
seperti ini, tentu nggak masalah," jawab Brodi sambil menganggukkan
kepalanya.
Ebert segera mengambil gelas anggur
dan berkata dengan penuh hormat, "Terima kasih, Pak Brodi."
"Jangan berterima kasih padaku,
berterimakasihlah pada Diro. Dia temanku. Kalau bukan karena dia, perusahaanmu
yang kecil itu nggak akan pernah menarik perhatianku," ujar Brodi dengan
sombong tanpa mengangkat gelasnya.
"Baik," jawab Ebert.
Ebert segera berbalik untuk berterima
kasih kepada Diro, tetapi Diro melambaikan tangannya sambil berkata,
"Nggak perlu buru-buru berterima kasih padaku. Biarkan aku memperkenalkan
orang ini dulu."
No comments: