Bab 120
Diro merasa ketakutan. Wajahnya
terlihat pucat saat dia berkata sambil menangis, " Adriel, aku salah.
Tolong maafkan aku atas dasar persahabatan lama kita."
"Kamu nggak pantas menyebutkan
tentang persahabatan denganku," balas Adriel dengan nada dingin.
"Ya, aku memang nggak pantas.
Tolong maafkan aku. Aku nggak akan bersikap nggak hormat padamu lagi di masa
depan," kata Diro sambil berpura-pura menampar pipinya sendiri.
"Kamu memukul dirimu ringan
sekali. Sepertinya kamu mau pergi dengan digotong," ujar Adriel.
Diro meringis dua kali, tidak punya
pilihan selain memukulkan telapak tangannya ke pipinya sendiri dengan keras.
"Belum cukup!!" ujar
Adriel.
Sambil menggertakkan gigi, Diro
memukulkan telapak tangannya sendiri dengan keras. Wajahnya terasa terbakar
oleh rasa sakit dan membuat gadis-gadis penghibur yang mendampingi mereka ikut
merasa kesakitan.
"Kamu nggak serius. Berlututlah,
lalu pukul dirimu sendiri terus-menerus," timpal Adriel.
Adriel tidak sedikit pun merasakan
belas kasihan pada orang seperti Diro.
Diro berlutut dengan suara keras,
memukulkan telapak tangannya sendiri ke pipinya hingga mulutnya berdarah.
Adriel menatap Brodi sambil berujar,
"Pak Brodi, kenapa kamu masih belum bergerak?"
Brodi selalu merasa bangga dengan
identitasnya, jadi dia jelas tidak akan mau memukul wajahnya sendiri.
"Adriel, ayahku adalah Alan
Juwono, Wakil Ketua Persatuan Dagang Marlion. Apa kamu mampu menyinggungnya?"
ujar Brodi dengan angkuh.
"Kalau kamu nggak mau
melakukannya sendiri, biar aku yang membantumu. Tapi aku nggak akan menahan
diri. Aku bisa memukulmu sampai mati hanya dengan satu tamparan," kata
Adriel lalu mulai berjalan menuju Brodi.
Brodi yang sangat ketakutan segera
berlutut, lalu mulai memukul pipinya dengan telapak tangannya sendiri.
Artur yang ada di sampingnya adalah
orang sangat bijaksana. Tanpa perlu Adriel mengucapkan sepatah kata, dia
langsung memukul wajahnya sendiri.
Di dalam ruang VIP, hanya terdengar
suara tamparan dari pukulan telapak tangan. Ketiganya membuat mulut dan hidung
mereka berdarah dengan tangan mereka sendiri.
Gadis-gadis yang menemani mereka
minuman bahkan tidak berani bernapas dengan keras. Mereka belum pernah melihat
situasi seperti ini dalam hidup mereka. Hari ini, mata mereka benar-benar
terbuka.
"Gadis-gadis, semua
kemarilah."
Perkataan dari Adriel langsung
membuat para gadis penghibur ini sangat ketakutan. Mereka segera meminta maaf
sambil memohon ampun.
"Jangan takut, aku nggak akan
memukul kalian."
Para gadis itu merasa sedikit lega
setelah mendengar itu.
"Siapa tadi yang memintaku untuk
menjilati sol sepatu mereka? Sekarang, karena kalian suka melihat orang
menjilat sol sepatu, kalian bisa menjilati semua sol sepatu mereka. Setelah
itu, baru aku akan melepaskan kalian," perintah Adriel.
"Bajingan! Aku nggak akan
menjilatnya," kata Brodi yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.
Menampar dirinya sendiri sudah
merupakan batasannya. Dia tidak akan pernah mau menjilati sol sepatu
gadis-gadis penghibur ini.
"Nggak mau menjilatnya? Kalau
begitu mati saja kamu!"
Adriel bergerak cepat, dalam sekejap
dia sudah berada di depan Brodi. Dia menekan lehernya, lalu mengangkatnya.
"Akan kujilat, akan
kujilat!"
Diro merangkak ke depan, melepaskan
sepatu hak tinggi salah satu wanita, lalu mulai menjilatnya.
Setelah melihat situasi itu, Artur
segera berlari untuk menjilati sol sepatu gadis penghibur lainnya.
"Pak Brodi, apakah kamu mau mati
atau menjilat sol sepatu?" tanya Adriel sambil melepaskan cengkeramannya.
Brodi terbatuk dengan keras, wajahnya
tampak memerah. Setelah beberapa, dia akhirnya berkata, "Aku akan
menjilatnya."
"Selvi, lepaskan sepatumu.
Biarkan dia menjilatnya sampai bersih," perintah Adriel.
Selvi sama sekali tidak berani
menolak. Dia melepaskan sepatunya, lalu melemparkannya ke depan Brodi.
Brodi mengambil sepatu itu, lalu
mulai menjilatinya.
Feri yang berdiri di samping tidak
berani mengatakan sepatah kata pun.
Tiga tuan muda ini adalah pelanggan
lama di Istana Phoenix, mereka semua memiliki latar belakang yang kuat. Namun,
malam ini mereka sudah mendapatkan penghinaan besar. Mungkin mereka tidak
pernah membayangkan penghinaan semacam itu sepanjang hidup mereka. "Kamu,
kemarilah."
No comments: