Membakar Langit ~ Bab 122

   

Bab 122

 

Tiga orang tersebut sampai di tempat parkir bawah tanah. Adriel berkata, "Ebert, kamu pulang saja duluan. Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan."

 

"Aku mengerti ! Kamu juga harus berhati - hati, jangan terlalu keras. Kesehatan itu penting."

 

Ebert tersenyum nakal pada Adriel. Dia tidak banyak bertanya lagi, langsung membuka pintu mobil untuk pergi.

 

"Tunggu sebentar. Perusahaanmu sekarang bergerak di bidang apa?" tanya Adriel.

 

"Industri desain. Ini hanya perusahaan kecil saja, kok."

 

"Oke, aku mengerti."

 

Adriel tidak punya banyak teman, sementara Ebert adalah sahabat yang setia. Jadi, tentu saja Adriel ingin membantunya.

 

Setelah Ebert pergi, Adriel membawa Vivian naik ke mobilnya.

 

"Ceritakan padaku, bagaimana kamu bisa bekerja di sini sebagai gadis penghibur? Apa kamu nggak tahu tempat seperti apa ini?" tanya Adrel dengan tegas.

 

"Aku..."

 

Vivian menundukkan kepalanya, ekspresinya tampak sangat kesulitan.

 

Nama asli Vivian adalah Vivian Sujono. Dia sudah mengenal Adriel sejak kecil.

 

Ayahnya, Gantra Sujono, sudah menjadi sopir bagi Ayah Adriel, Michael Lavali, selama dua puluh tahun. Bisa dibilang dia adalah orang yang sangat dipercaya oleh Michael.

 

Ibu Vivian juga bekerja sebagai pelayan rumah di keluarga Lavali. Dia selalu bekerja dengan penuh dedikasi.

 

Dua tahun yang lalu, Gantra kehilangan kedua kakinya dalam sebuah kecelakaan mobil.

 

Sebelum meninggal, Michael meminta Ana untuk memberikan enam miliar pada keluarga Sujono. Uang ini cukup untuk memastikan mereka hidup berkecukupan

 

Namun, Adriel tidak tahu apakah uang itu akhirnya diberikan oleh Ana atau tidak.

 

Hanya saja, mengingat sifat licik Ana, Adriel menduga mungkin uang itu tidak diberikan pada keluarga Sujono.

 

"Bagaimana keadaan Paman Gantra dan Bibi Lidya sekarang? Apakah mereka sehat- sehat?" tanya Adriel dengan nada yang lebih lembut saat melihat penampilan Vivian yang tampak sangat menyedihkan.

 

Adriel ingat bahwa Vivian yang dulu tidak seperti ini.

 

Gadis itu dulunya cerdik, ceria, serta penuh dengan semangat. Namun, sekarang dia berubah menjadi sangat pendiam.

 

"Sejak kecelakaan itu, kesehatan ayahku terus memburuk. Dia harus terus mengonsumsi obat-obatan. Setengah tahun yang lalu, ibuku juga didiagnosis mengalami gagal ginjal. Keluarga karni sudah nggak punya uang lagi. Rumah kami juga sudah dijual. Kalau aku nggak bekerja, ibuku akan diusir dari rumah sakit."

 

Vivian mengatakan hal ini dengan suara pelan, sambil mulai menangis.

 

Adriel menepuk bahu Vivian, berusaha menenangkannya, "Jangan khawatir, selama aku ada di sini, penyakit Bibi Lidya pasti bisa disembuhkan."

 

Dalam hatinya, Adriel mengutuk Ana yang sudah bersikap sangat kejam dan egois karena sudah mengambil uang enam miliar itu untuk dirinya sendiri, hingga memaksa Vivian bekerja di tempat seperti Istana Phoenix untuk mencari uang.

 

"Nggak ada gunanya. Golongan darah ibuku sangat langka, sulit untuk menemukan donor ginjal yang cocok," ujar Vivian.

 

Adriel menjawab, "Nggak perlu melakukan transplantasi ginjal. Besok pagi aku akan menemanimu ke rumah sakit untuk memeriksanya. Sekarang aku akan mengantarmu pulang, sekaligus menemui Paman Gantra."

 

Dengan kemampuannya sebagai dokter sakti, penyakit gagal ginjal tidak sulit untuk diobati.

 

"Nggak bisa! Aku berpakaian seperti ini, aku nggak bisa pulang. Ayahku bisa mati karena marah kalau melihatku seperti ini," ujar Vivian yang buru-buru menolak.

 

"Kalau begitu, apa aku harus mengantarmu kembali ke kampus?"

 

Vivian saat ini sedang berada di tahun ketiganya. Dia berkuliah di Universitas Negeri Silas.

 

"Ini sudah terlalu malam. Pintu asrama sudah tutup."

 

"Kalau begitu, apa kamu mau tinggal di hotel atau ikut pulang bersamaku?" tanya Adriel

 

Vivian menjawab tanpa ragu, "Aku akan ikut pulang bersamamu."

 

"Oke."

 

"Apa kamu sedang menunggu seseorang?" tanya Vivian.

 

Vivian melihat Adriel masih belum juga menghidupkan mobil, tampaknya sedang menunggu sesuatu.

 

"Menyelamatkan orang," jawab Adriel.

 

"Menyelamatkan siapa?" tanya Vivian.

 

"Para gadis penghibur di ruang VIP tadi."

 

"Apa kamu akan membawa mereka semua pulang?" Vivian tampak terkejut dengan jawaban Adriel.

 

Adriel mengetuk kening Vivian.

 

"Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu pikir aku orang mesum? Mereka sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Brodi dan yang lainnya dipermalukan. Mereka mungkin akan dibungkam."

 

"Apa?"

 

Ekspresi wajah Vivian berubah. Dia bertanya dengan suara gemetar, "Maksudmu, mereka semua akan dibunuh?"

 

Bab Lengkap

Membakar Langit ~ Bab 122 Membakar Langit ~ Bab 122 Reviewed by Novel Terjemahan Indonesia on December 04, 2024 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.