Bab 1238
Adriel menghela napas lega, tetapi
tetap saja merasa sedikit takut dan diam-diam melirik ke arah Wennie.
Besar sekali...
Eh, maksudnya...
Berbahaya sekali...
Wennie bahkan dipaksa untuk menjaga
arwahnya sendiri, sementara dia malah menyebabkan kematiannya. Betapa
memalukannya situasi ini.
Namun jika dipikir-pikir, tunangan
ini sebenarnya sangat kuat, eh, maksudnya sangat malang, karena di usianya yang
masih muda, dia sudah harus memikul beban keluarga.
Namun, di tengah kekagumannya,
Yulianto tiba- tiba berteriak, "Hei, dasar rendahan! Apa yang kamu
lihat-lihat! Kakak perempuanku bukan untuk sembarang orang lihat!
Berani-beraninya, awas kugali matamu!"
Adriel terkejut dan baru menyadari
bahwa Yulianto menatapnya dengan tatapan seolah-olah dia adalah musuh yang
membunuh ayahnya.
Wennie tampak sudah terbiasa
diperhatikan orang lain. Dia hanya menghela napas dengan sedikit pasrah.
Bahkan Elin memandangnya dengan
kesal, seolah- olah berpikir Adriel bisa membuat orang hamil hanya dengan
menatapnya.
"Jangan salah paham. Aku sama
sekali nggak punya maksud apa-apa pada kakakmu. Lagi pula, aku bukan tipe orang
yang jadi budak cinta..." jelas Adriel dan berusaha tetap tenang.
"Kau bilang siapa budak
cinta!" teriak Yulianto.
"Kamu pikir keren, ya, cuma
karena wajahmu lumayan? Pada akhirnya kamu cuma rakyat jelata! Dasar katak
ingin makan angsa!" lanjut Yulianto.
Adriel melirik Yulianto, lebih
tepatnya, Yulianto si ' Budak Cinta' dan dengan datar berkata, "Kamu suka
sekali sama kakakmu, ya?"
"Bicara apa kamu! Tutup mulut!
Aku tidak seperti itu!"
Wajah Yulianto merah padam, buru-buru
menyangkal dan bergegas menjelaskan pada Wennie, "Kak, jangan dengarkan
dia! Aku tidak serendah itu..."
Dia tampak seperti seorang pemuda
polos yang ketahuan memendam perasaan cinta diam-diam.
"Sudahlah... " kata Wennie
dengan pasrah.
Kemudian, dia menoleh ke Adriel
danberkata, "Pil yang kamu berikan itu sangat berharga, tapi aku nggak
berani menerimanya. Kami akan pergi dulu. Tapi kalau butuh bantuan, kamu boleh
menggunakan namaku."
Yulianto menatap Adriel dengan tajam,
berharap kakaknya akan memegang tangannya. Bagi 'Budak Cinta' seperti dia,
sentuhan kecil saja sudah jadi hal besar.
Sayangnya, Wennie langsung beranjak
pergi begitu saja.
Saat Yulianto dilanda kekecewaan,
Adriel tiba-tiba berseru, "Tunggu sebentar."
Wennie menoleh dengan bingung,
sementara Yulianto tampak makin kesal. "Ada apa lagi?"
"Jangan salah paham. Aku nggak
ingin mengganggu. Aku hanya ingin bergabung dengan kalian," ujar Adriel
sambil tersenyum.
"Bagaimana kalau kita
bersama-sama menjelajahi tempat ini?" lanjutnya.
Ucapan itu membuat Yulianto
mencemooh, sementara Wennie hendak tersenyum sopan untuk menolak.
Namun, kemudian, mata mereka
tiba-tiba membesar.
Adriel mengeluarkan senjata ekor
kuda!
"Apa ini bukan senjata ekor kuda
milik pendeta yang dikirim Herios untuk merebut harta Adriel?" tanya
Wennie sambil mengamati benda itu dengan serius.
"Nggak mungkin salah!"
Yulianto menelan ludah, berkata
dengan suara bergetar, "Itu senjata ekor kuda! Aku pernah melihat benda
itu saat menemani ayah mengunjungi Kuil Sakti Parama. Waktu itu, benda ini
ditempatkan di altar utama..."
"Namun ini adalah barang pribadi
pendeta itu. Kenapa bisa ada di sini? Jangan-jangan, Herios benar -benar ada di
sekitar sini!" ujar Wennie.
Kini dia menatap Adriel dengan
serius. Sepertinya, meski disuruh pergi, Wennie tak akan meninggalkan Adriel
begitu saja.
Tanpa menunggu pertanyaan lebih
lanjut, Adriel tersenyum dan menjelaskan, "Kebetulan aku menemukannya di
sekitar sini. Kurasa Herios memang ada di tempat ini. Sekarang, bolehkah aku
bergabung dengan kalian?"
No comments: