Bab 1252
Dalam perjalanan kembali, Elin
perlahan menenangkan emosinya yang meluap-luap.
Dia menatap Adriel dengan pandangan
bimbang seolah ada banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi tidak tahu harus
mulai dari mana.
Adriel tersenyum dan berkata,
"Kalau mau berterima kasih, cari tempat yang sepi saja nanti. Di sini
kurang cocok."
"Cih, dasar kau!"
Elin menatapnya dengan sinis, tetapi
berkata dengan nada khawatir, "Kamu rela melakukan apa saja demi
menyenangkan wanita. Tapi, kalau Herios benar-benar berhasil melarikan diri
nanti, kamu bisa menghadapi pembalasan darinya."
"Kalau dengan mengobarkan
sedikit api perang bisa membuat wanita tersenyum, apa salahnya?" balas
Adriel sambil tersenyum santai.
"Dasar mesum!"
Elin pura-pura memaki, meskipun ada
nada lembut dalam suaranya.
"Jangan khawatir. Beberapa tahun
lagi, kalau Herios memang berhasil mencapai tingkat langit, dia tetap harus
menghormatiku bak dewa!" lanjut Adriel sambil tertawa penuh percaya diri,
langkahnya besar dan tanpa ragu.
"Aku khawatir kamu malah
terbakar oleh api yang kamu nyalakan sendiri!" seru Elin pada punggung
Adriel yang makin menjauh.
Namun, perlahan pandangannya menjadi
lebih lembut saat menatap Adriel.
Karena kepentingan, keluarganya telah
menjual dirinya dan dia mengalami penindasan oleh Herios, hidup dalam kegelapan
sepanjang hidupnya.
Namun, Adriel datang untuk
menyelamatkannya, mengambil risiko besar tanpa mengharapkan balasan apa pun.
Mungkin, semua ini hanya karena pria itu merasa kasihan pada dirinya...
Tamparan-tamparan yang dia berikan
kepada Herios bagaikan cahaya yang mengusir hujan yang kelam dalam hidupnya.
Setelah dua puluh tahun menunggu, akhirnya dia bisa merasakan hangatnya cahaya
matahari.
"Adriel, terima kasih... "
bisiknya pelan.
Lalu, dia bergegas mengikuti langkah
Adriel dengan langkah yang lebih ringan dari sebelumnya.
Sementara itu, di luar gua ...
"Kenapa masih belum ada
kabar?"
Yulianto dan yang lainnya menunggu
dengan cemas di tempat persembunyian mereka yang agak jauh, mata mereka terpaku
penuh harap ke arah kedalaman gua.
"Tunggu saja," ujar Finn
berkata dengan nada dingin.
"Pak Kevin, pria itu nggak
menunjukkan rasa hormat padamu. Kalau dia memang keluar hidup hidup, aku akan
membunuhnya."
"Sesukamu," jawab Kevin
acuh tak acuh.
Bagi dia, itu hanyalah hal sepele.
"Wennie," panggil Finn,
melirik Wennie dengan sinis, "Karena Leo adalah orang yang kamu bawa ke
sini, kamu harus bertanggung jawab atas tindakannya yang menyinggung Pak
Kevin."
Finn tampak terkejut.
Jika Wennie harus bertanggung jawab,
dia tidak hanya akan kehilangan semua poin kreditnya kali ini, tetapi bahkan
bisa terpotong sepuluh poin dan menghadapi tekanan dari keluarga Buana!
Namun, Wennie tetap tenang dan
berkata pelan, " Aku yang membawanya, maka akulah yang bertanggung jawab.
Aku tidak akan menyeret kalian dalam masalah ini."
Wajah Finn menjadi muram. Dia sudah
lama mengejar Wennie, tetapi wanita ini keras kepala dan tidak pernah
memberinya kesempatan.
Kini, dia berharap bisa menekan
wanita itu, tetapi ternyata Wennie tetap tidak terpengaruh.
Dia menghela napas panjang dan
berkata, "Wennie, sebenarnya aku bisa membantumu menutupi masalah ini...
jika kamu setuju untuk..."
Namun, sebelum dia sempat
menyelesaikan kalimatnya, Wennie memotong, "Nggak perlu. Aku nggak suka
dipaksa oleh siapa pun."
Selama bertahun-tahun, dia telah
melalui banyak kesulitan dan terbiasa menghadapi tekanan. Baginya, semua itu
tidak lebih dari hambatan yang harus dihadapi. Dia terlalu banyak berhutang
budi pada keluarga Lavali dan tidak mungkin menyerahkan dirinya pada orang
lain.
Mendengar kata-katanya, ekspresi Finn
berubah suram.
Saat itu, sebuah suara jernih
terdengar, "Bagus sekali, nggak mudah diintimidasi. Punya nyali yang
besar."
Semua orang menoleh untuk melihat
siapa yang berbicara.
No comments: