Bab 128
Saking terkejutnya, Rory hampir
menjatuhkan ponselnya.
"Pak Adriel, mohon jangan marah.
Bawahanku nggak mengenalimu. Bapak di toko yang mana? Aku akan segera ke
sana," kata Rory sambil buru-buru meminta maaf.
Dalam hatinya, Rory mengutuk para
pegawainya yang dianggapnya bodoh.
"Di Pusat Perbelanjaan Surya. Kesabaranku
terbatas, aku beri sepuluh menit. Kalau nggak kamu lewat dari waktu itu, semua
tokomu di sini nggak perlu dibuka lagi," kata Adriel sebelum menutup
telepon.
"Kamu telepon siapa barusan?
Dari suaranya, terdengar seperti ayahku," tanya Joel.
"Memang," jawab Adriel..
Joel tertawa terbahak-bahak.
"Kamu kira kamu siapa? Berani-beraninya memerintah ayahku? Kamu mau
menakuti siapa? Kamu pikir dengan menelepon seseorang, aku akan percaya?"
ujar Joel.
"Betul. Otak orang ini pasti
sudah nggak beres. Berani-beraninya dia menelepon ayahmu di depanmu. Dia bahkan
memberi batas waktu sepuluh menit untuk sampai ke sini," tambah Evana.
Dia sama sekali tidak percaya bahwa
Adriel punya kuasa sebesar itu.
"Kalau kamu benar-benar bisa
mendatangkan ayahku dengan satu telepon, aku akan berlutut dan mengakui
kesalahanku. Kalau nggak, aku akan membuatmu menyesal hari ini," kata Joel
dengan sombong.
Saat itu, satpam sudah datang setelah
dipanggil oleh manajer toko.
"Pantau dia baik-baik, jangan
sampai dia kabur. Sepuluh menit akan segera berlalu," kata Joel.
Delapan menit berlalu dengan cepat.
Joel berdiri dan berkata, "Bocah, tinggal dua menit lagi. Kalau kamu
berlutut mengakui kesalahanmu dan memotong tangan yang menampar pacarku, aku
akan mengampunimu."
"Dan kamu, Vivian, kamu juga
harus berlutut dan mengakui kesalahanmu karena sudah memfitnah keluargaku punya
utang," tambah Evana. Dia tidak mau melewatkan kesempatan untuk
mempermalukan Vivian.
"Kamu sebaiknya berdoa agar
ayahmu bisa sampai sini dalam sepuluh menit. Kalau nggak, semua toko keluargamu
di Kota Silas akan tutup," kata Adriel sambil menyilangkan kaki di sofa.
"Dasar gila, omong kosong terus.
Aku ingin lihat sampai kapan kamu bisa terus sombong!" hina Joel.
Baru saja dia selesai bicara, Rory
berlari masuk ke toko dengan keringat bercucuran.
"Ayah..."
"Pak Rory... "
Joel dan manajer toko segera menyapa.
Namun, Rory tidak menghiraukan
mereka, dia langsung menuju Adriel dengan wajah penuh keringat. Dia bahkan
tidak berani menyeka keringatnya.
"Pak Adriel, maaf membuatmu
menunggu. Ini semua salahku yang nggak mengawasi karyawan dengan baik. Aku
kurang melatih mereka sehingga dua kali menyinggungmu. Mohon maafkan
kami," kata Rory dengan rendah hati, tidak mempedulikan siapa pun selain
Adriel.
"Masalah ini sebenarnya bukan
karena karyawanmu, tapi karena anakmu sendiri. Dia menuduhku mencuri kartu,
menipu uang, bahkan mengancam akan memotong tanganku dan menyerahkanku ke
polisi," kata Adriel sambil melirik Joel.
Rory langsung merasa panik, wajahnya
makin pucat.
Jika itu karena pegawai toko, dia
masih bisa atasi dengan memecatnya. Namun, beda cerita kalau anaknya sendiri
yang menyinggung Pak Adriel.
Rory berbalik dan menatap Joel dengan
marah.
"Ayah ... "
Melihat Rory meminta maaf kepada
Adriel, meskipun tidak mengerti kenapa ayahnya begitu takut pada Adriel, Joel
sadar bahwa kartu hitam itu benar-benar milik Adriel dan dia telah melakukan
kesalahan besar.
"Jangan panggil aku ayah! Aku
nggak punya anak sepertimu! Cepat minta maaf kepada Pak Adriel!" teriak
Rory dengan mata melotot marah.
Joel tidak berani membangkang, dia
segera menghampiri Adriel dan meminta maaf.
"Berlutut!" perintah Rory
dengan suara keras.
"Ayah..."
No comments: