Bab 131
"Kamu ... keterlaluan sekali!
Apa kamu menerima suap dari orang lain dan sengaja mengusir ibuku?"
"Nak, jangan berbicara
sembarangan di sini! Kami cuma mengikuti peraturan. Cepat pergi, jangan buat
keributan di sini," ucap perawat dengan sikap yang kasar dan mendominasi.
"Vivian, sudahlah. Ibu juga
nggak ingin menghabiskan uang untuk dirawat di rumah sakit. Ayo kita
pergi," kata Lidya.
"Bibi Lidya, kita nggak perlu
terburu-buru! Kita nggak boleh diperlakukan seperti ini," ucap Adriel.
Adriel maju untuk mendukung Lidya dan
Vivian.
"Kamu bilang ada peraturan,
tunjukkan padaku. Jika rumah sakit benar-benar memiliki peraturan seperti itu,
kami akan mengakuinya. Peraturan harus bersifat tertulis, bukari hanya dari
omonganmu," ucap Adriel.
"Memangnya kamu bisa apa kalau
kami nggak menunjukkannya kepadamu? Sejujurnya, pasien yang akan masuk adalah
kerabat dari kepala poliklinik kami, Pak Niel, "kata perawat tersebut.
Perawat itu akhirnya tidak
berpura-pura lagi dan langsung mengungkapkan semuanya.
"Apa kepala poliklinik ini
begitu hebat? Apa kepala poliklinik bisa melakukan apa saja yang diinginkannya
?" tanya Adriel dengan nada dingin.
"Kamu ada masalah?"
Pada saat ini, seorang dokter yang
mengenakan jas putih keluar dari kamar inap.
"Aku yang mengatur kamar
pasiennya, peraturannya juga aku yang tetapkan. Di sini, apa yang kukatakan
adalah peraturan," kata Niel dengan wajah sombong.
"Apa kepala dokter Rumah Sakit
Utama begitu berkuasa? Ini benar-benar membuka wawasanku."
Adriel tertawa dingin, dia
mengeluarkan ponselnya untuk menelepon kepala Rumah Sakit Utama, Dokter
Andrian.
"Jujur saja, di bagian
poliklinik nefrologi, aku adalah dokter paling profesional di seluruh Kota
Silas. Jika kalian membuatku marah, nggak ada dokter lain yang akan merawat
kalian kelak. Kalian bahkan nggak akan memiliki tempat untuk melakukan dialisis
dan hanya bisa menunggu mati di rumah," sahut Pak Niel yang langsung
mengancam dengan kematian.
Sebenarnya, Lidya bisa disembuhkan
oleh Adriel di rumah tanpa perlu dirawat di rumah sakit.
Namun, Adriel pasti tidak akan
menerima perlakuan buruk seperti ini.
"Sudahlah, Pak Adriel. Ayo kita
pergi saja."
Lidya tidak ingin mencari masalah.
Dia juga tahu dirinya lemah. Tidak ada gunanya jika dia membuat keributan.
Adriel langsung menelepon Andrian.
"Andrian, aku beri kamu waktu
lima menit untuk tiba di lantai lima unit rawat inap. Aku tunggu di sini,"
ucap Adriel.
Adriel hanya mengucapkan satu kalimat
ini. Dia langsung menutup telepon tanpa memberi sedikit pun rasa hormat kepada
Andrian.
Andrian sedang mengadakan rapat.
Setelah menerima telepon, dia segera menghentikan rapat dan bergegas ke bagian
rawat inap.
Kebetulan, Rumah Sakit Utama menerima
seorang pasien dengan kondisi yang parah dan aneh. Semua orang sedang
mengadakan pertemuan untuk membahas hal ini. Jika tidak ada cara lain, Andrian
juga ingin menghubungi Adriel untuk meminta bantuan.
"Bocah, aku pernah melihat orang
sombong yang suka berbohong, tapi belum pernah melihat orang seperti kamu. Kamu
pikir kamu siapa? Hanya dengan satu telepon bisa memanggil kepala rumah sakit
kami?" ejek Niel dengan sedikit tertawa.
Perawat yang berada di sebelahnya
juga tidak tahan untuk mengejek.
"Kamu pikir dengan menelepon dan
menyebutkan nama kepala rumah sakit kami, kamu bisa mengintimidasi orang? Cara
itu konyol sekali," seru Niel.
"Aku beri kesempatan terakhir,
segera bawa orang itu pergi. Dengan begitu, mereka masih bisa menerima
perawatan di tempatku selanjutnya. Kalau nggak, jangan salahkan aku kalau nggak
mau membantu lagi," kata Niel.
Meskipun Vivian tidak tahu apakah
Adriel benar-benar mampu memanggil kepala rumah sakit, dia tetap memilih
percaya kepada Adriel.
Namun, Lidya khawatir Adriel akan membuat
masalah dan tidak akan berakhir dengan baik. Jadi, dia pun terus membujuk untuk
membiarkannya.
"Bibi Lidya, jangan khawatir.
Penyakitmu nggak perlu diobati oleh dokter yang nggak berguna. Dia nggak
pantas. Aku akan mengobatimu," hibur Adriel.
Niel tertawa lebih keras.
"Dari mana datangnya anak bodoh
ini? Berani-beraninya dia membual dan mengatakan aku dokter yang nggak berguna.
Memangnya kamu mengerti ilmu medis?" tanya Niel.
"Di hadapanku, kamu hanya pantas
disebut dokter biasa. Kamu bahkan nggak memiliki etika medis. Kamu nggak pantas
disebut sebagai dokter," jawab Adriel dengan nada dingin.
"Dasar kurang ajar! Nak,
sepertinya aku terlalu bersabar denganmu. Berani- beraninya kamu mempertanyakan
keahlian medisku. Coba kamu tanya di komunitas medis Kota Silas, siapa yang
nggak tahu tentang tingkat keahlian medisku?" hardik Niel dengan ekspresi
emosi.
No comments: