Bab 146
Meskipun Toni merasa terkejut dengan
kekuatan Adriel, dia tetap percaya diri pada kemampuannya sendiri.
"Kalau begitu, aku serahkan pada
Pak Toni," kata Alan sambil memberi hormat dengan tangannya.
Toni melambaikan tangannya, lalu
bertanya pada Adriel, "Anak muda, siapa gurumu?"
"Kamu nggak berhak bertanya.
Karena menghormati gurumu, Mahaguru Jayson, aku menahan diri tadi. Kalau kamu
menyerang lagi, tanggung sendiri akibatnya, "balas Adriel.
Adriel sebenarnya bisa melukai Toni
dengan satu serangan, tapi karena Toni adalah murid langsung dari seorang
mahaguru, dia memberi sedikit rasa hormat.
Toni tentu saja tidak percaya pada
ucapan Adriel. Dia mendengus dingin.
"Sombong sekali! Tadi aku belum
menggunakan seluruh kekuatanku, sementara kamu malah makin percaya diri.
Sekarang, aku akan menggunakan seluruh kekuatanku, bersiaplah untuk mati!"
kata Toni.
Toni kembali bersiap. Dia menunjukkan
gaya bertarung seperti harimau, lalu menyerang Adriel sekali lagi.
Kali ini, Toni benar-benar tidak
menahan diri, kekuatannya yang setara dengan dua harimau terkonsentrasi di
tinjunya.
Namun, kali ini Adriel tidak hanya
berdiri di tempat untuk menerima serangan.
Dia menggunakan Jurus Tiga Ribu Halilintar.
Saat tinju berat Toni mendekat, Adriel bergerak secepat kilat dan langsung
muncul di samping Toni.
Kemudian, Adriel menendang dengan
keras, mengirim Toni terbang hingga lebih dari sepuluh meter. Toni jatuh ke
tanah, berguling sejauh lebih dari sepuluh meter lagi hingga akhirnya menabrak
dinding taman dan berhenti.
Toni muntah darah dan menjerit
kesakitan, sementara yang lain seakan tercekik. Mereka hanya bisa ternganga,
wajah mereka penuh dengan keterkejutan, mulut mereka tidak mampu mengeluarkan
suara.
"Yey! Aku tahu Kak Adriel sangat
hebat. Kamu pasti nggak akan kalah," seru Vivian dengan penuh semangat
sambil mengintip dari pintu rumah.
Seruan Vivian seakan membangunkan
kedua pasangan ayah dan anak tersebut dari keterkejutan mereka.
"Bagaimana mungkin? Pak Tont
yang seorang ahli tingkat delapan, murid langsung dari seorang mahaguru,
terluka parah hanya dengan satu serangan?" gumam keempat orang tersebut.
Mereka tidak lagi sekadar tidak
percaya, mereka merasa seperti melihat hal yang mustahil
"Pak Alan, ini. Bagaimana
ini?" tanya Dimas.
Dimas dan putranya mulai ketakutan.
Awalnya, mereka datang untuk membalaskan dendam, tetapi sekarang orang terkuat
mereka sudah terkapar. Bagaimana bisa mereka berharap mendapatkan hasil yang
baik?
"Kenapa kamu panik? Aku masih
ada di sini, apa yang bisa dia lakukan?" jawab Alan yang mencoba untuk
tetap tenang.
Toni dengan susah payah bangkit dari
tanah. Tubuhnya yang terluka parah tidak lagi mampu bertarung.
"Kamu... Siapa kamu sebenarnya
?" tanya Toni sambil mengusap darah di sudut bibirnya.
"Kamu masih bisa bicara?"
ujar Adriel.
Adriel berjalan dengan tenang sambil
menyilangkan tangannya di belakang.
Toni berujar, "Aku kalah, aku
mengakuinya! Tapi Geng Langit nggak akan kalah. Kamu sudah menyinggung seluruh
Geng Langit, bersiaplah untuk menghadapi amarah mereka."
Meski Toni terluka parah, dia masih
tidak bisa menerima kekalahannya dan malah mengancam.
Adriel tampak geram saat berkata,
"Kamu sudah kalah, tapi masih berani mengancamku? Aku sudah bilang, aku
menghormati Mahaguru Jayson sehingga aku membiarkanmu hidup. Tapi sepertinya
kamu sendiri yang nggak ingin hidup!"
Adriel bergerak lagi seperti angin
yang melintas. Dalam sekejap, dia sudah berada di depan Toni.
Pukulannya melesat!
Dada Toni langsung hancur. Matanya
melotot, lalu dia terlempar sekali lagi. Kali ini, dia terlempar keluar dari
gerbang vila hingga menabrak sebuah mobil.
Mobil itu hancur, sementara Toni
terbaring di atasnya. Mulutnya memuntahkan darah, bibirnya bergerak-gerak
seakan ingin mengatakan sesuatu. Kemudian, kepalanya terkulai miring dan dia
meninggal di tempat.
"Ma-mati?" ujar Diro yang
mendekat untuk memeriksa napasnya. Tubuhnya gemetaran hebat dan wajahnya pucat
pasi.
Dimas hanya bisa bergumam pelan,
"Pak Alan..."
No comments: