Bab 167
Oki tidak langsung turun dari mobil.
Dia hanya mengangguk sedikit dan bertanya, " Orang yang ingin kamu hadapi
tinggal di sini?"
"Benar," jawab Thomas.
"Kamu ingin dia mati atau
hidup?" tanya Oki.
"Setengah mati saja sudah cukup.
Sisanya biar aku yang urus, biar nggak mengotori tanganmu," jawab Thomas.
Oki tampak puas dengan sikap Thomas.
Dia lalu tersenyum dan berkata, "Kamu cukup tahu diri."
Sri dan Fanny berdiri di samping
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka merasa takut dan hormat ketika
menghadapi ahli tingkat delapan itu.
"Aku tahu, memintamu turun
tangan untuk mengurusi masalah kecil seperti ini memang sedikit merepotkan.
Tapi orang ini terlalu sombong... " kata Thomas.
Oki mengangkat tangannya sedikit dan
memotong ucapan Thomas, "Cukup, nggak perlu banyak bicara. Setelah masalah
ini selesai, sampaikan kepada ayahmu bahwa bantuanku ini berarti aku sudah
membalas budi dan cukup memberinya muka. Jangan lagi menggangguku untuk urusan
kecil seperti ini."
"Ya, tentu saja," jawab
Thomas sambil mengangguk cepat.
"Panggil dia keluar!"
perintah Oki sambil memberi isyarat kepada Thomas.
Dengan seorang ahli tingkat delapan
di belakangnya, Thomas merasa sangat percaya diri. Dia berjalan dengan dada
membusung. Fanny pun terlihat sangat angkuh sambil merangkul lengan Thomas.
Mereka berjalan menuju taman rumah Adriel, sementara Sri mengikuti di belakang.
Saat sampai di taman rumah Adriel,
Thomas berdeham dan berteriak, "Hei, Adriel berengsek! Cepat keluar dan terima
hukumanmu!"
Di dalam rumah, Gantra mendengar
teriakan kasar di luar dan mendorong kursi rodanya keluar.
"Mulut kotor siapa yang
berteriak di sini?" balas Gantra dengan marah.
Gantra tidak mengenali Thomas, tetapi
dia mengenali Sri dan Fanny.
"Bu Sri, Nona Fanny, kenapa
kalian di sini?" tanya Gantra.
"Dasar cacat, kenapa kamu di
sini? Di mana Adriel? Suruh dia keluar!" kata Fanny dengan nada menghina
dan meremehkan
Gantra tahu tentang pembatalan
perjodohan antara Adriel dan Fanny, tetapi dia tidak tahu detailnya.
Mengingat ekspresi Fanny yang dulu
selalu memanggilnya Paman Gantra dengan sopan, Gantra langsung mengerti
situasinya.
"Pak Adriel sedang istirahat di
atas. Kenapa kalian mencarinya?" tanya Gantra.
"Itu bukan urusanmu, dasar
cacat. Cepat panggil dia ke sini," kata Fanny.
"Nggak kusangka, Adriel malah
memanggilmu yang sudah cacat ini untuk terus menjadi sopirnya. Apa kamu masih
bisa menyetir sekarang?" ejek Sri.
"Kamu masih memanggilnya dengan
begitu sopan? Kamu pikir dia masih anak keluarga Lavali? Masih ingin terus
menjilatnya? Aku ingat kamu punya seorang putri yang selalu mengikuti Adriel ke
mana-mana. Dia sungguh nggak tahu malu, mencoba merebut posisi menantu dari
putriku. Jangan pikir aku nggak tahu. Dia hanya anak pembantu yang bermimpi
menjadi putri raja, " lanjut Sri.
Cemooh Sri yang tajam membuat wajah
Gantra merah padam karena marah.
"Jangan bicara sembarangan!
Meski kami cuma bawahannya, kami nggak pernah melakukan sesuatu yang melampaui
batas. Kami juga nggak pernah punya pikiran seperti itu. Kami hidup dengan
jujur," kata Gantra dengan tegas.
"Itu nggak penting lagi!
Sekarang putrimu sangat cocok dengan Adriel. Seorang anak pembantu dan seorang
gigolo, mereka pasangan yang sempurna," ejek Sri tanpa henti.
"Vivian si itik buruk rupa itu
bahkan nggak pantas untuk membawakan sepatuku. Adriel sudah lama nggak selevel
denganku. Kalau putrimu suka dengan orang seperti itu, silakan ambil saja. Tapi
syaratnya, Adriel harus tetap hidup hari ini."
Fanny memang tidak pernah memandang
Vivian. Hanya karena dulu Adriel melindungi Vivian, Fanny tidak berani
mengganggunya.
No comments: