Bab 172
Thomas kesakitan hingga bercucuran
keringat dan wajahnya pucat. Sementara itu, Adriel sudah mencengkam sisi
bahunya yang lain.
Thomas hampir terkencing karena
ketakutan. Jika kedua bahunya remuk, dia benar-benar akan menjadi orang tidak
berguna.
"Adriel, aku mohon, ampunilah
aku. Lepaskan aku. Aku jamin nggak akan berani mencari masalah denganmu
lagi."
"Bukannya kamu tadi masih
berteriak ingin menginjak-injak, mempermalukan, dan memukulku hingga setengah
mati? Sekarang, aku baru melumpuhkan satu lenganmu saja, tapi kamu sudah nggak
tahan?" ucap Adriel dengan nada dingin.
"Apa pun yang ingin kamu lakukan
padaku, akan aku balas satu per satu. Ini baru disebut adil."
"Aku mengaku salah! Maaf, aku
mengaku salah! Aku tadi terlalu nggak tahu diri dan berbicara terlalu
keras."
"Adriel, aku akan bersujud
kepadamu. Anggap saja aku seperti angin lalu dan lepaskanlah aku."
Tanpa memedulikan rasa sakit dari
lengan kirinya yang remuk, Thomas segera bersujud kepada Adriel dan tidak
berani berhenti bahkan saat jidatnya sudah terluka dan berdarah.
Thomas takut mati. Dia tahu betul
bahwa selagi masih bernyawa, semuanya masih ada kesempatan. Bagaimanapun juga,
dia harus tetap hidup agar bisa punya kesempatan untuk membalas dendam.
Sri dan Fanny ketakutan melihat
situasi ini. Mereka tidak berani mengeluarkan suara sedikit pun, bahkan tidak
berani bernapas kuat.
Adriel mengangkat kakinya dan
menginjak kepala Thomas. Seluruh permukaan wajah Thomas menempel ke tanah.
Selain itu, cairan kuning busuk mengalir dari tubuhnya.
Thomas ketakutan sampai terkencing!
"Kamu ini anjing, ya? Sampai
pipis sembarangan?"
Fanny tidak menyangka bahwa Thomas
akan ketakutan hingga terkencing di hadapan Adriel.
Perselisihan kali ini jauh lebih
parah dan memalukan daripada saat Thomas dipukuli oleh Adriel semasa SMA.
Sri melihat menantu kayanya ditindas
hingga dipermalukan seperti itu dan dia berniat ingin melindungi menantu
kayanya. Namun, dia tidak punya keberanian itu.
"Kamu harus mengganti rugi
karena mengotori tempatku. Begini saja. Dalam waktu tiga hari, siapkan dua
batang ginseng yang berusia ratusan tahun untukku, maka aku akan melepaskanmu
hari ini."
Adriel awalnya memang tidak berniat
untuk membunuh Thomas.
Mudah saja untuk membunuhnya, tetapi
itu tidak memberikannya keuntungan apa pun. Lebih baik meminta langsung bahan
obat berharga darinya.
"Baik, aku akan ganti rugi. Aku
akan ganti!" seru Thomas yang menyetujui dengan suara samar.
Setelah itu, barulah Adriel
mengangkat kakinya dan berkata, "Pergi sana."
Thomas tidak sempat memedulikan Sri
dan Fanny. Dia segera berlari terbirit-birit.
"Kak Thomas, jangan pergi.
Bagaimana dengan kami?" teriak Fanny dengan cemas.
Thomas tidak menoleh, bahkan tidak
memedulikannya karena takut terlambat selangkah pun. Setelah kembali ke mobil,
dia menalian rasa sakitnya dan pergi ke rumah sakit. Dia juga tidak sempat
memedulikan Sekretaris Wandy yang terluka.
Baru saja keluar dari rumah sakit,
Thomas lagi-lagi kembali dirawat di rumah sakit.
Pandangan Adriel diarahkan kepada Sri
dan Fanny. Ibu dan anak itu terlihat panik dan bergerak mundur secara refleks.
"Ad... Adriel, Thomas yang mau
mencarimu untuk membalas dendam. Dia bahkan memaksa kami kemari untuk menonton."
Sri segera menyalahkan hal ini kepada
Thomas.
"Apa tontonannya seru?"
tanya Adriel.
"Nggak... nggak seru,"
jawab Sri dengan berhati-hati.
"Bu Sri, kamu sudah menjebakku.
Mengingat hubungan masa lalu kita dan juga karena aku menghargai Paman Cheky,
aku nggak mempermasalahkannya denganmu. Aku sudah bilang, meski kamu nggak
bermoral, aku tetap akan menghormatimu."
"Tapi, kamu harus tahu bahwa
kesabaran dan toleransiku ada batasnya, sedangkan tindakan kalian hari ini
sudah menghabiskan semua kesabaran dan sisa rasa hormatku kepada kalian."
No comments: