Bab 182
Adriel juga harus mengakui bahwa
Diana memang wanita yang luar biasa.
Pesonanya berbeda dengan wanita
seperti Ana dan Yunna. Dia bisa menampilkan keanggunan, kecantikan yang
menggoda, serta sensualitasnya hingga maksimal. Ini bisa membangkitkan hasrat
pria untuk menaklukkannya.
"Oke, mati di tanganmu bisa
dianggap sebagai kematian yang layak," balas Diana.
Diana tampaknya sama sekali tidak
takut mati. Matanya tidak hanya tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan, malah
memancarkan cahaya yang menggoda dan mempesona. Satu tangannya bahkan menjalar
ke arah bawah tubuh Adriel.
"Kakakmu sudah aku bunuh, apakah
kamu nggak mau membalaskan dendam padaku?" tanya Adriel.
Adriel benar-benar tidak mengerti
mengapa Diana terus mengikutinya. Seharusnya, dia adalah musuhnya.
Adriel tidak bisa menebak maksud sebenarnya
dari perbuatan Diana. Jadi dia tetap bersikap waspada.
"Kami bersaudara sudah membunuh
banyak orang selama bertahun-tahun ini. Kami bisa dianggap sebagai orang jahat
yang penuh dosa. Cepat atau lambat, kami akan mati dengan cara yang
mengenaskan, kami nggak memiliki hak untuk membalaskan dendam," jelas
Diana.
"Kamu tahu diri juga
ternyata," ujar Adriel.
Meskipun Diana berkata demikian,
Adriel tetap tidak akan memercayainya begitu saja.
"Tentu saja, kalau ada
kesempatan aku akan membunuhmu. Tapi ini bukan untuk balas dendam. Ini
sepenuhnya karena pria tampan sepertimu harus mati di bawah tubuhku. Itu akan
membuatku merasa sangat puas," kata Diana sambil tertawa terbahak-bahak.
Wajahnya menunjukkan senyuman jahat.
"Kamu memang gila," maki
Adriel dengan suara rendah.
Diana berujar, "Benar, aku
memang gila. Aku hanya ingin mati di tanganmu, atau membuatmu mati di bawah
tubuhku. Sebelum itu terjadi, nggak ada pria lain yang layak menyentuhku atau
menarik perhatianku."
Adriel melepaskan cengkeramannya pada
leher Diana, lalu berkata, "Keluar dari sini."
"Aku nggak mau!" Diana
terus bersikeras.
"Plak!"
Adriel menampar Diana dengan keras,
membuat darah segera mengalir dari sudut bibir wanita itu.
"Pergi!" teriak Adriel
lagi.
Diana menjilat darah di sudut
bibirnya dengan lidahnya, menunjukkan ekspresi penuh kenikmatan.
"Tamparan yang luar biasa. Aku
mohon, tampar aku lagi!" mohon Diana.
"Plak!"
Adriel kembali menamparnya. Jika
tamparan ini dilayangkan pada orang biasa, pasti sudah membunuhnya.
Namun, Diana adalah seorang mahaguru
tamparan ini hanya cukup untuk menyakitinya, tetapi tidak mematikan.
Diana tidak bisa menahan diri untuk
tidak berteriak kesakitan.
Setelah menampar Diana dua kali,
Adriel menariknya keluar dari mobil, lalu melemparkannya ke pinggir jalan.
"Pergi jauh-jauh. Kalau kamu
muncul lagi di depanku, aku akan membunuhmu," ujar Adriel.
Setelah mengatakan itu, Adriel
menutup pintu mobil, lalu melaju pergi.
Darah mengalir dari hidung dan mulut
Diana, membuatnya tampak sangat berantakan. Wajahnya yang menggoda kini sudah
berubah merah dan bengkak serta penuh dengan bekas jari.
Diana mengeluarkan selembar sapu
tangan putih lalu menghapus darah di wajahnya. Meskipun wajahnya terasa sangat
perih, Diana malah merasa sangat puas.
"Adriel, aku nggak percaya kamu
benar- benar bisa terus menahan diri untuk tidak menyentuhku," gumam
Diana.
Pada saat itu, sebuah mobil sport
meraung mendekat dan berhenti di samping Diana.
"Cantik, kamu habis dipukuli,
ya? Cepat naik ke mobilku, aku akan mengantarmu ke rumah sakit," ujar
sebuah suara dari dalam mobil.
Di dalam mobil sport itu duduk
seorang pria kaya. Meskipun wajah Diana bengkak, tetapi dari tubuh dan
posturnya, pria kaya itu bisa menilai bahwa dia adalah wanita yang luar biasa.
Diana membuang sapu tangannya, lalu
melirik ke arah pria kaya itu. Dia memberikan tatapan menggoda, berjalan dengan
anggun menuju mobil, lalu membuka pintu dan masuk.
No comments: