Bab 186
Pada saat itu, Nancy yang masih
memiliki kesadaran samar-samar di atas tempat tidur membuka matanya.
"Kak, jangan ... jangan
menyulitkan Yunna... "kata Nancy dengan lemah.
Paul melemparkan Irish yang terluka
ke tanah, berjalan ke sisi tempat tidur, lalu berkata, "Dik, jangan
khawatir. Paman mengutusku ke sini untuk menangani segalanya. Aku akan
bertindak sesuai dengan yang harus aku lakukan."
Nancy ingin menghalanginya, tetapi
dia tidak memiliki kekuatan. Bahkan berbicara saja sangat sulit baginya.
"Yunna, buatlah pilihanmu.
Kesabaranku ada batasnya," kata Paul.
Yunna mengepalkan tangannya dengan
erat. Menghadapi ancaman Paul, dia tidak takut, juga tidak mau mengalah.
"Aku, Yunna Millano, mungkin
nggak memiliki banyak keahlian, tapi aku selalu teguh. Nggak ada yang bisa
memaksaku," ujar Yunna.
"Bagus! Kamu memang layak
menjadi wanita yang menarik perhatian Paul Sabian. Kamu punya prinsip. Aku akan
memenuhi keinginanmu," kata Paul.
Dia memberikan isyarat pada Fahmi
untuk menuangkan langsung racun darah ke tubuh Yunna.
"Sekarang kamu juga terinfeksi,
aku yakin kamu pasti bisa memanggil dokter sekarang! " ujar Paul dengan
senyum sinis.
"Nggak perlu memanggil dokter,
kita semua bisa mati bersama. Bagaimanapun juga, mereka semua akan mati
sebelumku!" kata Yunna.
Saat melihat racun yang menyebar di
tubuhnya, dia tidak tampak ketakutan. Dia berbicara tanpa perasaan, seakan
sudah menerima kematiannya.
"Yunna, dasar kamu wanita
rendahan! Kalau kamu mau mati, kamu bisa mati sendirian. Aku nggak mau mati!
Nona Nancy juga nggak mau mati. Cepat telepon dokter itu untuk datang ke
sini!" teriak Chloe dengan cemas saat dia mendengar Yunna menolak untuk
bekerja sama, bahkan memilih untuk mati bersama.
Yunna tidak bergerak sedikit pun.
Pada saat itu, Paul tidak berani mengambil tindakan terhadap Yunna. Dia takut
tertular jika menyentuhnya.
Dia mengangkat Irish yang sudah
terluka, lalu mencengkeram lehernya.
Paul berkata, "Kamu pikir karena
kamu siap mati, aku nggak bisa berbuat apa-apa padamu? Kalau kamu nggak mau
berkompromi, aku akan membunuh budak ini terlebih dulu, lalu menyusul dengan
membunuh orang-orang keluarga Millano yang lain."
"Bu Yunna, aku nggak takut
mati," ujar Irish dengan sikap yang siap menerima kematian.
Saat ini, Andrian duduk dengan
gelisah di ruang perawatan. Dia merasa tidak nyaman.
Dia sama sekali tidak pernah
membayangkan bahwa kedatangan orang dari keluarga Yudos akan membuat situasi
menjadi seperti ini.
"Nona Yunna, mungkin lebih baik
kita menelepon Dokter Adriel," kata Andrian mencoba membujuk.
Yunna tahu bahwa orang dari keluarga
Yudos sulit dihadapi. Paul juga bukanlah orang yang baik. Jika dia memanggil
Adriel, tidak peduli apakah Adriel bisa menyembuhkan penyakit itu atau tidak,
tidak akan ada hasil yang memuaskan semua pihak.
Jika ada konflik, Adriel yang akan
menderita kerugiannya.
Bagaimana bisa Yunna membiarkan
Adriel dalam bahaya?
Namun, jika dia tidak menelepon,
Irish pasti akan dibunuh oleh Paul. Setelah itu, Paul pasti akan menemukan cara
untuk menghubungi Adriel.
Ini bukan masalah yang bisa
dihentikan olehnya.
Meskipun hatinya tidak ingin
melakukan itu, Yunna tidak punya pilihan selain menelepon Adriel.
"Lepaskan dia, aku akan
meneleponnya," kata Yunna.
"Kamu nggak memenuhi syarat
untuk berunding denganku," balas Paul dengan nada meremehkan.
Yunna mengeluarkan ponselnya untuk
menelepon Adriel.
"Berikan ponselmu padaku,"
ujar Paul.
Yunna melemparkan ponselnya pada Paul.
Ketika Adriel mengangkat telepon, yang terdengar dari telepon adalah suara
Paul.
Setelah telepon ditutup, Paul
langsung menghancurkan ponsel Yunna.
"Lepaskan dia," ujar Yunna
sekali lagi.
Paul menatap Irish yang lehernya dia
cengkeram, sementara tangan lainnya membelai lembut wajahnya.
"Kamu memiliki selera yang
bagus, sekretaris yang kamu pilih ini nggak buruk," kata Paul.
Setelah mengatakan ini, dia langsung
mencium Irish dengan paksa di depan semua orang.
No comments: