Bab 187 "Hei!"
Irish mengigit keras, membuat bibir
Paul berdarah.
Paul yang merasa kesakitan segera
melepaskan ciumannya. Dia meraba bibirnya yang berdarah dengan senyum aneh,
lalu berkata, "Berani sekali kamu menggigitku. Mati saja kamu."
Paul langsung mematahkan leher Irish
dengan suara berderak.
"Jangan!" teriak Yunna.
Yunna melihat dengan mata kepala
sendiri bahwa sekretarisnya yang sudah seperti saudara perempuannya, Irish,
mati di depan matanya. Ini membuatnya penuh dengan kesedihan.
"Oh? Leher ini terlalu rapuh.
Aku belum menekannya dengan keras, tapi dia sudah mati. Aku kembalikan
padamu," ujar Paul sambil melemparkan tubuh Irish yang sudah tidak
bernyawa ke hadapan Yunna.
Di ruang perawatan, semua orang
merasa tegang dan takut, mereka hanya bisa membisu. Mereka baru saja melihat
seorang manusia hidup dibunuh begitu saja. Siapa yang tidak akan merasa takut?
Yunna memeluk tubuh Irish dengan
wajah yang penuh air mata. Hatinya hancur.
"Yunna, jangan terlalu cepat
menangis, ini baru permulaan. Ini adalah harga yang harus kamu bayar karena
sudah membuat pilihan yang salah. Kalau sejak awal kamu memilih menjadi
wanitaku, nggak akan ada yang mati karenamu," ujar Paul.
"Aku nggak suka memaksa wanita.
Tapi kalau ada wanita yang nggak patuh denganku, aku akan menyiksanya perlahan
- lahan," lanjutnya dengan wajah penuh kekejaman dan kesombongan.
Yunna menatap Paul dengan mata
memerah yang penuh kebencian. Dia berharap bisa segera membunuhnya dengan
ribuan tebasan.
"Ekspresi mata inilah yang aku
inginkan. Sayangnya, nggak peduli setajam apa pun ekspresi matamu, itu nggak
akan ada gunanya. Kamu nggak bisa berbuat apa-apa terhadapku. Hahaha..."
Paul tertawa terbahak-bahak setelah
mengatakan itu.
"Pak... Pak Paul, aku hanya
dokter yang datang untuk mengobati. Aku nggak ahli dalam ilmu medis, nggak bisa
menyembuhkan penyakit racun darah ini. Aku nggak punya urusan lagi di sini,
jadi aku akan pergi sekarang," kata Cedric yang sudah ketakutan setelah
melihat Irish dibunuh.
Pria di depannya ini adalah seorang
gila. Dia bisa membunuh orang lain tanpa merasa bersalah. Karena Paul memiliki
suasana hati yang mudah berubah, akan lebih baik kalau dia segera melarikan
diri.
"Karena kamu nggak ahli dalam
pengobatan penyakit ini, itu artinya kamu nggak berguna! Orang nggak berguna
hanya membuang-buang udara saja," ujar Paul dengan nada sinis.
Perkataan Paul langsung membuat
Cedric ketakutan. Kedua kakinya gemetaran dan wajahnya pucat.
"Pak Paul, tolong ampuni aku!
Ini ... penyakit racun darah memang nggak bisa disembuhkan. Di dunia ini, nggak
ada yang bisa menyembuhkan penyakit ini selain Tabib Agung!" ujar Cedric
yang segera berlutut memohon ampun.
"Apa maksudmu, Dokter Adriel itu
juga nggak bisa menyembuhkannya?" tanya Paul.
Cedric berkata penuh ketakutan,
"Kemarin aku sudah bilang, pasti orang ini nggak bisa menyembuhkannya. Pak
Paul, tolong ampuni nyawaku. Dalam aturan dunia persilatan, dokter nggak boleh
dibunuh!"
Di dunia persilatan, membunuh seorang
dokter adalah sebuah dosa besar. Biasanya, selalu ada aturan bahwa dokter tidak
boleh dibunuh.
"Aku bukan orang dari dunia
persilatan, aturan-aturan itu nggak berguna bagiku Mau aku membunuhmu atau
nggak, semua tergantung suasana hatiku," balas Paul sambil menyeringai
dengan dingin.
Cedric merasa sangat menyesal. Dia
ingin mendekati keluarga Yudos, tetapi tak disangka pilihannya ini hanya akan
menjadi ajang bunuh diri. Dia hanya bisa memohon ampun tanpa henti.
"Sudahlah, pergi ke samping dan
tunggu di sana. Kalau orang bernama Adriel itu datang dan nggak bisa
menyembuhkan penyakit ini, kalian semua, sekelompok orang nggak berguna ini,
akan mati bersamanya," ujar Paul.
Cedric terjatuh ke tanah.
Satu-satunya peluang hidupnya adalah jika Dokter Adriel itu bisa menyembuhkan
penyakit racun darah.
Namun, Cedric sangat yakin bahwa itu
tidaklah mungkin!
Jadi, itu berarti nasibnya sudah
ditentukan. Bagaimana bisa Cedric tidak merasa takut? Setiap detik dan setiap
menit sekarang adalah penderitaan baginya. Ini adalah hitungan mundur menuju
kematiannya. Perasaan takut ini sangat menyiksa.
Ini juga alasan mengapa Paul tidak
langsung membunuh Cedric. Dia suka melihat orang lain perlahan-lahan mendekati
kematian dengan diliputi rasa putus asa dan ketakutan.
Andrian bersama perawat dan dokter lainnya
sudah sangat ketakutan. Keringat dingin mereka mengucur deras, tubuh mereka
gemetaran, bahkan mereka tidak berani bernapas dengan keras.
"Pak Paul sangat gagah perkasa.
Kalau penyakit ini nggak bisa disembuhkan, semua orang yang nggak berguna ini harus
mati!" ujar Chloe dengan penuh kebencian.
Jika dia harus mati, dia akan membawa
Yunna dan orang lainnya ke neraka bersamanya.Yunna terus memeluk tubuh Irish.
Meski hatinya penuh dengan kebencian, dia merasa lebih putus asa.
Di depan kekuatan besar seperti
keluarga Yudos, gadis kecil dari keluarga Millano sepertinya, yang bisa
mengatur segalanya di Kota Silas, hanya seperti semut kecil. Dia bisa
diperlakukan semaunya oleh mereka.
'Adriel... apa kamu akan menjadi
harapan terakhir?' batin Yunna.
Dalam pikiran Yunna terlihat gambaran
wajah tampan dan penuh percaya diri Adriel.
مد
No comments: