Bab 189
"Aku nggak pernah barjanji untuk
mengobati mereka. Aku juga nggak akan membantu menyembuhkan mereka. Mau
mengancamku ? Kamu pikir siapa kamu?" ujar Adriel sambil memandang Paul
dengan tatapan dingin.
Dia tidak mau membuang waktu
berbicara dengan Paul, jadi dia langsung menyatakan pendiriannya.
"Apa yang kamu katakan?"
tanya Paul sambil mengernyit.
Kilatan dingin muncul di matanya,
menciptakan suasana penuh ketegangan di ruang perawatan.
"Apa kamu tuli? Aku nggak mau
mengulanginya lagi," balas Adriel dengan tenang saat menghadapi tatapan
penuh niat membunuh dari Paul.
"Bagus! Bagus sekali! Berani
sekali kamu menentangku. Sudah lama aku nggak melihat orang seberani ini,"
ujar Paul sambil tertawa dingin.
Niat membunuh sudah muncul di hati
Paul.
Dia berkata, "Kamu benar-benar
nggak tahu terima kasih. Aku memberikanmu kesempatan untuk dekat dengan
keluarga Yudos, tapi kamu nggak tahu cara menghargainya. Kalau begitu, kamu
juga sama nggak bergunanya. Orang yang nggak berguna harus mati."
"Aku juga nggak berencana
membiarkanmu meninggalkan Kota Silas hidup-hidup," balas Adriel dengan
tenang.
Setelah mendengar ini, Paul tampak
terkejut, lalu bertanya, "Kamu juga ingin membunuhku?"
Kemudian, Paul tertawa
terbahak-bahak.
Dia berkata, "Mereka bilang kamu
adalah dokter sakti, tapi aku pikir kamu bukan dokter sakti, melainkan orang
gila. Kamu ingin membunuhku hanya dengan kemampuanmu?"
Paul menatap Adriel dengan penuh
penghinaan, sangat meremehkannya.
"Haruskah aku memujimu karena
keberanianmu, atau menganggapmu sebagai orang bodoh yang nggak tahu
batasan?" tanya Paul lagi.
Adriel tidak mau berdebat lagi dengan
Paul. Dia sudah mengepalkan tinjunya, dengan niat membunuh yang terpancar dari
matanya.
"Pak Adriel, tenanglah, jangan
bertindak gegabah! Dia adalah sepupu Nancy. Kalau kamu membunuhnya, akibatnya
akan sangat serius. Kita nggak bisa menantang keluarga Yudos," ujar Yunna.
Meskipun dia juga ingin membalaskan
dendam pada Paul, tetapi akal sehatnya mengatakan itu bukan pilihan yang bijak.
Yunna yang berasal dari keluarga
Millano sangat paham bahwa realitas memang sangat kejam.
Mana ada yang namanya keadilan? Mana
ada yang namanya balas dendam dengan penuh kepuasan?
Ada lebih banyak waktu di mana kita
merasa putus asa, serta harus menelan kebencian. Jika tidak, kita akan mati
dengan mengenaskan.
Bukan hanya kita sendiri yang akan
mati dengan mengenaskan, tetapi keluarga dan teman-teman kita juga akan
terlibat dalam masalah.
Yunna hanya bisa menahan kebenciannya
terhadap Paul dan mencegah Adriel agar tidak bertindak gegabah.
"Kamu benar-benar nggak tahu
diri. Aku akan mengirimmu ke alam baka!" teriak Paul.
Paul langsung menyerang Adriel lebih
dulu.
Paul sendiri bukanlah orang yang
lemah. Dia adalah petarung tingkat enam dalam seni bela diri, serta sudah
mempelajari ilmu bela diri internal yang sangat kuat. Saat menyerang, dia akan
langsung mengeluarkan jurus yang mematikan.
Adriel sama sekali tidak menganggap
serius Paul.
Menghadapi serangan Paul, Adriel
langsung mengayunkan tinjunya. Kedua tinju mereka bertabrakan, menimbulkan
hasil yang tak terduga. Paul terlempar jauh hingga menabrak dinding. Kekuatan
pantulan yang besar membuatnya terluka, memuntahkan darah, serta tangan
kanannya kehilangan rasa.
"Kamu!" seru Paul.
Paul sama sekali tidak menganggap
serius Adriel yang hanya seorang dokter. Tadi dia tidak mengerahkan seluruh
kekuatannya.
Namun, saat ini wajah Adriel penuh
dengan keterkejutan!
"Dengan kemampuanmu yang seperti
ini, kamu berani mengancam untuk membunuhku ?" ujar Adriel sambil berdiri
dengan tangan di belakang punggungnya.
Paul dengan susah payah bangkit
berdiri. Wajahnya tampak sangat muram.
"Kalau aku mau kamu mati, kamu
nggak akan bisa hidup! Aku sudah meremehkan kekuatanmu, tapi hari ini kamu
pasti akan mati!" geram Paul.
Wajah Paul penuh dengan kebencian.
Kemudian, dia berkata pada Fahmi, "Pak Fahmi, bunuh dia!"
Fahmi mengangguk sedikit, melangkah
maju, lalu segera memenuhi ruang perawatan dengan tekanan dari seorang
mahaguru. Ini membuat hati semua berdebar penuh ketakutan.
No comments: