Bab 194
Saat ini, nyawa Paul berada
sepenuhnya di tangan Adriel. Selama mengerahkan sedikit kekuatan, Adriel bisa
langsung mematahkan leher Paul.
"Barusan, aku membiarkanmu
mengatakan kata-kata terakhirmu. Sayangnya, kamu justru nggak memanfaatkan
kesempatan itu. 11
Setelah Adriel berkata demikian, dia
segera meningkatkan kekuatan tangannya secara bertahap, membuat Paul merasa
tercekik dan takut akan mati.
Pupil Paul mulai membesar perlahan,
matanya mulai memerah dan kesadarannya mulai kabur.
Sampai saat ini pun, Paul tidak dapat
memercayainya. Bagaimana mungkin Adriel berani membunuhnya?
Beraninya dia!
"Hentikan!"
"Jangan!"
Dua suara terdengar bersamaan. Suara
pertama berasal dari Fahmi. Saat melihat Paul akan dibunuh, meskipun Fahmi
tidak dapat menghentikannya dengan tindakan, dia masih perlu menghentikannya
secara lisan.
Sementara orang kedua yang berteriak
adalah Yunna dan Nancy yang terbaring di atas ranjang.
Suara Nancy sangat lemah dan hampir
tidak dapat terdengar.
Yunna menggelengkan kepalanya ke arah
Adriel seraya berkata, "Pak Adriel, pikirkan baik-baik lagi. Jangan bunuh
dia."
Yunna lebih ingin mematahkan leher
Paul daripada siapa pun, demi membalaskan dendam kepada Irish.
Akan tetapi, Yunna juga tahu bahwa
kenyataannya dia tidak berdaya. Di dunia ini, memang ada beberapa dendam yang
tidak bisa dibalaskan.
Saat ini, Fahmi juga buru-buru
menyahut, " Adriel, apa kamu benar-benar nggak takut dengan balas dendam
keluarga Yudos di Sahjaya? Jangan menimbulkan masalah yang nggak bisa kamu
tanggung hanya karena emosi sesaat."
Adriel perlahan tersenyum kecil,
kemudian segera mengulurkan jarinya.
"Krak!"
Leher Paul langsung patah!
Mata Paul terbelalak. Dia langsung
mati lemas dengan kepalanya yang terkulai.
Paul tidak pernah percaya bahwa dia
akan mati di Kota Silas, di tangan orang tidak dikenal seperti Adriel.
"Kamu! Kamu benar-benar bernyali
besar!" ujar Fahmi sambil menunjuk Adriel dengan marah.
Amarahnya bukan karena Paul yang
telah tewas, melainkan jika Adriel membunuh Paul, dirinya sendiri juga mungkin
akan mati.
"Membunuh orang ng untuk balas
dendam itu hal yang wajar. Karena dia sudah membunuh seseorang di sini, jadi
adil dan masuk akal bagiku untuk membunuhnya," ujar Adriel dengan santai.
Adriel mengempaskan mayat Paul
langsung ke lantai, lalu berjalan mendekati Fahmi selangkah demi selangkah.
"Kak..."
Nancy menopang tubuhnya untuk
setengah. duduk. Saat melihat mayat Paul yang tergeletak di lantai, air mata
sontak mengalir di wajahnya.
"Nona, dia sudah gila. Dia
bahkan berani membunuh orang. Apa kita juga akan mati di sini?" ujar
Sekretaris 'Chloe. Dia yang selalu mendominasi, sekarang tampak sangat
ketakutan.
Dia terlihat panik dan tidak berani
bersuara lagi.
Nancy tidak menyangka bahwa keadaan
akan menjadi seperti ini. Saat dihadapkan dengan situasi seperti ini, Nancy
juga merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan yang belum pernah dia rasakan
sebelumnya.
Fahmi melihat niat membunuh Adriel
masih berlanjut, jadi dia hanya bisa menggertakkan gigi dan memutuskan untuk
bertarung sampai mati.
Namun, Fahmi sudah terluka parah
karena Adriel. Walaupun dia berusaha sekuat tenaga, tetap saja sia-sia. Adriel
tetap menangkapnya dengan teknik pengendalian.
"Jangan bunuh aku! Kita semua
adalah mahaguru bela diri. Aku mohon, ampuni nyawaku!" pinta Fahmi yang
akhirnya merasa ketakutan dan memohon belas kasihan pada Adriel.
"Apa barusan kamu pernah
berpikir untuk mengampuni nyawaku?" tanya Adriel.
"Awalnya, aku nggak berniat
membunuhmu. Bukankah aku masih mengajakmu bergabung dengan tulus? Mahaguru
Adriel, tolong biarkan aku hidup, ampuni aku. Jadi orang jangan terlalu kejam,
kita masih saling membantu kelak," pinta Fahmi.
"Siapa yang mau saling membantu
denganmu? Pergi sana!" ujar Adriel marah.
Adriel langsung menendang Fahmi dan
membuat pria itu terbang membentur dinding. Dia memuntahkan seteguk darah lagi,
lukanya makin parah dan tubuhnya sudah sekarat.
Fahmi merangkak di lantai dan masih
terus memohon belas kasihan.
"Setelah gagal mengajak orang
lain bergabung, bisa-bisanya kalian berpikir untuk menghancurkan mereka
sepenuhnya. Kamu juga bukan orang yang baik. Kamu memang pantas mati,"
ujar Adriel dengan nada yang dingin.
No comments: