Bab 222
"Paman Cheky, apa kamu tahu
kalau Tante Sri ingin aku mati? Hukuman yang aku berikan padanya sekarang sama sekali
nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan apa yang telah dia
lakukan," balas Adriel.
Cheky menjawab, "Dia memang
bersalah, tapi kamu juga baik-baik saja, 'kan?"
"Heh ... Aku baik-baik saja
karena aku punya kemampuanku sendiri. Kalau nggak, apa aku masih bisa hidup dan
bicara denganmu sekarang? Paman Cheky, jangan bicara lagi. Aku khawatir kalau
kamu terus berbicara, hubungan kita sebagai paman dan keponakan akan rusak.
Kita bahkan nggak akan bisa lagi berhubungan sebagai keluarga," balas
Adriel.
Meskipun Adriel merasa sangat tidak
senang, dia masih tidak ingin merusak hubungannya dengan Cheky.
Saat mendengar ini, Cheky tampaknya
juga mulai marah.
Cheky berkata, "Adriel, apa kamu
benar- benar nggak mau memaafkan Tante Sri? Apa hatimu benar-benar sekeras
itu?"
"Coba tanyakan pada dirimu
sendiri. Dari kecil hingga sekarang, bagaimana Paman memperlakukanmu? Tante Sri
hanya melakukan kesalahan karena bingung sesaat, tapi kamu ingin menyiksanya
seperti ini?" lanjut Cheky.
"Aku tahu sekarang kamu sudah
belajar beberapa kemampuan, punya dukungan kuat, juga nggak lagi menganggap
pamanmu ini penting. Tapi dalam masalah ini, kamu yang sebenarnya bersalah
lebih dulu," tambah Cheky.
Mendengar kata-kata ini, Adriel tidak
bisa menahan rasa dingin di hatinya.
"Aku yang bersalah lebih dulu?
Salahku di mana?" tanya Adriel.
"Kamu salah karena nggak
seharusnya memukul dan melukai Thomas. Kamu tahu kekuatan keluarga Santoso
sekarang? Heri adalah seorang anggota dewan di Persatuan Dagang Marlion.
Mungkin dia akan segera menjadi wakil ketua."
"Tanpa bantuan keluarga Santoso,
aku nggak akan bisa mendapatkan proyek kerja sama dengan Grup Jahaya.
Perusahaanku juga mungkin akan diambil alih orang lain. Karena kamu melukai
Thomas, Tante Sri terpaksa melakukan itu. Dia melakukannya demi keluarga
kami."
"Kamu punya kemampuan, punya
dukungan kuat, tapi kami nggak menerima sedikit pun bantuan darimu, 'kan?"
Adriel menggelengkan kepala dengan
kecewa sambil berkata, "Bagaimana kamu tahu aku nggak pernah membantumu?
Paman Cheky, apa kamu tahu kalau kerja sama dengan Grup Jahaya adalah berkat
bantuanku, bukan karena keluarga Santoso? Mereka nggak punya pengaruh sebesar
itu."
"Cukup! Sampai sekarang kamu
masih berbohong? Aku nggak mau bicara banyak denganmu. Aku hanya ingin bertanya
satu hal, kamu akan memaafkan Tante Sri atau nggak?" tanya Cheky dengan
nada tidak sabar.
Adriel merasa hatinya makin dingin.
Dia berkata dengan getir, "Aku mengerti sekarang. Dibandingkan dengan
Tante Sri, aku hanyalah orang luar. Dibandingkan dengan keluarga Santoso,
mereka bisa membawa keuntungan bagi kalian. Mana yang lebih penting, sudah
sangat jelas. Baiklah, bagus sekali, Paman Cheky. Kamu baru saja memberiku
pelajaran lagi."
"Pergilah bawa Tante Sri ke
sini. Aku akan memaafkannya," lanjut Adriel.
Mendengar ini, Cheky tidak bisa
menahan diri untuk berkata, "Kamu harus menepati kata-katamu."
"Tentu saja. Paman Cheky, mulai
sekarang, aku nggak berutang apa pun padamu," kata Adriel dengan hati yang
hancur.
Cheky berkata, "Kalau begitu,
Paman akan memberimu satu nasihat terakhir. Setelah mempelajari beberapa
kemampuan, jadilah orang yang rendah hati. Meski kamu punya dukungan kuat,
keluarga Santoso bukanlah orang yang bisa kamu tantang dengan mudah. Dukunganmu
mungkin kuat, tapi nggak sekuat Persatuan Dagang Marlion. Bijaksanalah.
Sebaiknya kamu meninggalkan Kota Silas dan mencari tempat baru karena keluarga
Santoso nggak akan melepaskanmu."
Setelah berkata demikian, Cheky pergi
dengan mobilnya untuk menjemput istrinya.
Adriel menggelengkan kepala,
berbicara pada dirinya sendiri, "Paman Cheky, pandanganmu terlalu sempit.
Sekarang, aku nggak membutuhkan dukungan siapa pun di Kota Silas."
Tidak lama kemudian, Cheky membawa
istrinya ke sana.
Cheky memberi isyarat pada istrinya
agar merendah, meminta maaf kepada Adriel.
Sri yang sudah terlalu takut disiksa
lagi, akhirnya membuka mulut dengan terpaksa untuk meminta maaf kepada Adriel
setelah mengingat betapa mengerikan konsekuensinya jika tidak melakukannya.
"Nggak perlu meminta maaf. Kali
ini aku akan memaafkanmu, tapi aku ingin mengatakannya dengan jelas dari
awal," ujar Adriel.
Adriel mengangkat tangan, menolak
permintaan maaf Sri, karena baginya itu sudah tidak penting lagi.
"Katakan saja," kata Cheky.
"Keluarga kita sudah saling
mengenal selama puluhan tahun. Kalian berdua juga yang membesarkanku. Aku juga
hampir menjadi menantu kalian. Orang tuaku sudah lama meninggal, jadi aku
awalnya menganggap kalian sebagai keluarga dan orang tua angkat."
"Sayangnya, nasib berkata lain.
Kita berada dalam situasi seperti sekarang. Mulai sekarang, kita nggak perlu
lagi membicarakan hubungan masa lalu. Semua utang budi sudah lunas, nggak ada
yang berutang pada siapa pun."
"Adriel... Apa yang Paman
katakan tadi mungkin terlalu keras," ujar Cheky yang sedikit merasa
bersalah setelah amarahnya mereda.
Dia menyadari bahwa kata-katanya
mungkin berlebihan.
"Checky, Adriel benar. Kita
harus fokus ke depan. Masa lalu biarlah berlalu. Jangan lagi bicarakan tentang
hal-hal yang sudah terjadi. Kita jalanin hidup masing-masing saja."
No comments: