Bab 223
Sri sebenarnya sangat ingin
memutuskan hubungan dengan Adriel sejak awal.
"Aku ini orang yang pendendam.
Kalau ada yang menyinggungku lagi di masa depan, aku nggak akan segan-segan
membalas," kata Adriel.
"Baiklah," kata Sri tanpa
berpikir panjang.
Adriel tidak banyak bicara lagi. Dia
menggunakan teknik titik akupunktur untuk menghilangkan energi sejati dalam
tubuh Sri.
"Sudah selesai, kalian bisa
pergi sekarang. Aku nggak akan mengantar," ujar Adriel.
"Sudah selesai? Jangan-jangan
kamu cuma berpura-pura saja?" kata Sri meragukannya.
"Terserah kamu mau percaya atau
nggak," jawab Adriel.
Kemudian, dia berbalik naik ke atas
sambil berkata pada Vivian, "Vivian, antar tamu keluar."
Sri hampir ingin membuka mulut untuk
memaki Adriel dan meluapkan semua kemarahan serta rasa frustrasinya setelah dua
hari disiksa. Namun, mengingat kekuatan Adriel saat ini, kata-kata itu terpaksa
ditelan kembali.
"Ayo pergi," kata Cheky.
Cheky dan Sri keluar dari rumah
Adriel dan kembali ke mobil. Di dalam mobil, Sri langsung tidak bisa menahan
diri untuk mengumpat.
"Kenapa dia sombong sekali? Cuma
belajar sedikit ilmu bela diri dan punya perempuan yang sedikit berpengaruh sebagai
pendukung saja sudah besar kepala seperti itu. Lihat saja sikapnya, sombong
sekali," umpat Sri.
"Dia bilang mau memutuskan
hubungan dengan kita? Aku malah senang. Aku mau lihat, berapa lama dia bisa
bertahan. Cepat atau lambat, dia pasti akan dibinasakan oleh keluarga
Santoso," lanjut Sri.
Sri meluapkan amarahnya dengan
kata-kata kasar di dalam mobil.
"Sudahlah, semua yang perlu
dikatakan sudah dikatakan. Sekarang, apakah dia hidup atau mati, itu bukan
urusan kita lagi," kata Cheky.
Di dalam vila, Vivian yang sudah
selesai mengemasi barang-barangnya, duduk di sebelah Adriel.
"Kak Adriel, setelah benar-benar
memutuskan hubungan dengan keluarga Lein, hatimu pasti sangat terluka,
'kan?" tanya Vivian.
Adriel menjawab dengan tenang,
"Terluka itu hanya bersifat sementara. Tapi, dapat melihat sifat asli
mereka serta memahami situasi adalah sebuah pencerahan yang akan bertahan
seumur hidup. Nggak ada yang salah dengan itu."
"Mereka nggak bisa melihat nilai
sebenarnya, pandangan mereka sempit. Itu adalah kerugian mereka sendiri. Mereka
akan menyesalinya di kemudian hari," tambah Adriel./
Kemudian, Adriel bangkit berdiri,
menepuk kepala Vivian, lalu berkata, "Ayo, aku antar kamu."
Adriel mengambil barang-barangnya,
tetapi dia melihat Vivian hanya berdiri di tempatnya, tidak bergerak.
"Ada apa? Masih ada barang yang
belum diambil?" tanya Adriel.
Vivian menundukkan kepala, menggigit
bibirnya erat-erat, lalu menggelengkan kepala sedikit. Kedua tangannya
disembunyikan di belakang, jari-jarinya saling menggenggam, menunjukkan betapa
bingung dan tertekannya dia saat itu.
Kemudian, Vivian tiba-tiba melangkah
cepat ke arah Adriel dan langsung memeluknya erat-erat.
Adriel yang sedang membawa tas dengan
kedua tangannya pun tampak sedikit bingung.
"Gadis nakal, apa yang kamu
lakukan sekarang?" tanya Adriel.
Vivian mulai menangis pelan. Adriel
tidak punya pilihan selain meletakkan tasnya dan menepuk bahunya untuk
menghibur gadis itu.
Adriel bertanya, "Kenapa kamu
tiba-tiba menangis?"
Vivian akhirnya tidak tahan lagi dan
mengungkapkan isi hatinya, "Kak Adriel, aku nggak mau berpisah denganmu.
Aku ... Aku nggak mau kita berpisah."
No comments: