Bab 247
Sri yang merasa telapak tangannya
dielus oleh Heri, juga dipuji di depan umum langsung paham. Dia tidak bodoh.
Dari tatapan mata Heri, dia bisa melihat ada maksud tertentu.
"Oh, ya, Pak Heri, coba tebak
siapa yang tadi aku temui di pintu masuk hotel?" kata Sri.
"Siapa?" tanya Heri.
"Adriel," jawab Sri.
Mendengar itu, ekspresi Heri langsung
berubah dingin. "Kenapa dia datang?"
"Aku menduga, mungkin dia datang
untuk membuat keributan. Atau dia tahu kamu sudah dipromosikan menjadi wakil
ketua, jadi dia takut dan datang untuk meminta maaf serta memohon belas
kasihan," jawab Sri.
"Huh! Dia sudah berani melukai
putraku, dia pasti akan mati. Kalau dia datang untuk membuat keributan, aku
akan memastikan dia nggak akan bisa pergi dengan selamat hari ini," dengus
Heri dengan dingin.
"Heri, kamu benar-benar sombong.
Aku mau lihat bagaimana caramu memastikan aku nggak bisa pergi dengan
selamat."
Suara Adriel tiba-tiba terdengar,
menarik perhatian semua orang.
Heri belum pernah melihat Adriel,
jadi dia bertanya kepada Sri, "Ini dia?"
Sri mengangguk sambil menjawab,
"Benar, dia adalah Adriel."
"Bocah nggak tahu diri. Hanya
membawa setangkai bunga dan mengira itu sudah cukup untuk meminta maaf?"
kata Heri.
"Kamu pikir kamu pantas untuk
aku minta maaf padamu?" balas Adriel dengan nada merendahkan.
"Bagus! Bagus sekali! Kamu punya
nyali! Kamu benar-benar berani datang ke pesta perayaanku untuk membuat
masalah. Aku akan segera menghitung semua kesalahanmu, termasuk masalah melukai
putraku," ujar Heri.
Namun, pada saat itu Heri merasa agak
tidak percaya diri, karena Ketua Geng Langit, Dion Sumono, belum tiba. Di
antara tamu yang hadir, tidak ada ahli yang bisa menahan Adriel. Jika terjadi
perkelahian, ini malah bisa merugikannya.
"Jangan salah paham, aku bukan
datang untuk membuat keributan," kata Adriel sambil tersenyum.
"Lalu, untuk apa kamu datang? Di
sini nggak ada yang menyambutmu!" ujar Heri sambil mengernyitkan
keningnya.
Kehadiran tiba-tiba seseorang, yang
kebetulan adalah orang yang telah melukai putra Heri, segera memicu
perbincangan di antara para tamu. Mereka semua berkumpul untuk melihat apa yang
terjadi.
"Aku datang untuk menagih
utang," kata Adriel.
"Utang apa? Aku belum
membalasmu, tapi malah kamu yang datang menagih utang dariku. Apa kamu sudah
gila?"
Heri tidak bisa menahan diri untuk
mengumpat.
"Pak Heri, jangan marah. Nggak
perlu marah padanya. Orang ini benar-benar gila, otaknya nggak beres,"
kata Sri.
Cheky berdiri di samping tanpa
berkata apa- apa. Sekarang, dia sangat kecewa dengan Adriel. Menurutnya,
tindakan Adriel hanyalah mencari masalah sendiri. Jadi, dia tidak bisa
menyalahkan siapa pun.
"Beberapa waktu lalu, putramu
Thomas
datang ke rumaliku bersama beberapa
orang
untuk membuat keributan. Aku
memberinya
pelajaran sehingga dia ketakutan
sampai
mengompol. Saat itu, dia berjanji
untuk
memberikan dua akar ginseng berusia
100
tahun sebagai permintaan maaf. Dia
memohon padaku untuk mengampuni
nyawanya. Kedua wanita ini melihatnya
dengan mata kepala sendiri. Mereka
bisa jadi
saksi," kata Adriel.
Dia mengangkat tangannya untuk
menunjuk ke arah Sri dan Fanny.
"Batas waktu tiga hari sudah
habis. Aku hanya ingin tahu, kamu akan membantu putramu menepati janjinya atau
aku harus membunuhnya," lanjut Adriel.
Kata-kata Adriel ini langsung
menimbulkan kegemparan.
"Siapa pemuda ini? Sombong
sekali."
"Kita lihat saja bagaimana Pak
Heri akan menanganinya. Orang sombong seperti ini, sepertinya hari ini dia
hanya akan keluar dengan digotong."
Otot-otot di wajah Heri berkedut dua
kali, amarahnya memuncak.
"Bocah sialan, kamu cari
mati!"
Plak!
Setelah Heri mengumpat, wajahnya
langsung dipukul oleh Adriel. Seketika, hidung dan mulutnya berdarah. Wajahnya
terasa sangat sakit dan telinganya pun berdengung.
No comments: