Bab 248
"Jaga mulutmu. Kalau kamu berani
bicara kotor lagi, aku akan membunuhmu," kata Adriel.
Adriel tidak akan membiarkan Heri
begitu saja karena berani menghina seorang mahaguru adalah tindakan mencari
mati.
Tamparan Adriel datang tiba-tiba dan
sangat cepat. Itu membuat semua orang terkejut.
Bukan hanya Heri yang terkejut oleh
tamparan tiba-tiba itu, tetapi orang lain juga menunjukkan ekspresi kaget.
Sulit dipercaya ada seseorang yang berani menampar wakil ketua dari Persatuan
Dagang Marlion di acara seperti ini.
"Adriel, apa kamu sudah
gila?" teriak Sri.
Lalu, dia segera bertanya dengan
cemas, Pak Heri, apa kamu baik-baik saja?"
Cheky juga mengerutkan kening, lalu
memarahi Adriel, "Kamu benar-benar sudah bosan hidup, ya. Kalau kamu ingin
mati, nggak ada yang bisa menyelamatkanmu. Orang tuamu yang sudah meninggal
juga nggak bisa menyalahkanku karena ini murni ulahmu sendiri."
"Jangan pernah menyebut-nyebut
orang tuaku lagi, kamu nggak pantas," balas Adriel.
Adriel pun tidak lagi menunjukkan
rasa hormat pada Cheky.
"Keamanan, di mana
keamanan?!"
Seorang tamu berteriak memanggil
petugas keamanan. Tidak ada yang menyangka, di acara perayaan seperti ini, akan
muncul seseorang yang begitu berani datang dan langsung menampar Heri, sang
tokoh utama hari itu.
Sebagian besar yang hadir adalah
anggota Persatuan Dagang Marlion, sementara tamu lainnya adalah tokoh-tokoh
penting dan orang-orang berpengaruh di Kota Silas.
Menghadapi insiden mendadak seperti
ini, semua merasa takjub.
Adriel bahkan melihat Janda Hitam,
Glenny Kusuma, di tengah kerumunan. Meskipun dia bukan anggota Persatuan Dagang
Marlion, dia juga diundang ke acara ini.
Saat ini, hanya Glenny saja yang
mengetahui identitas Adriel di antara orang-orang yang hadir.
Namun, dia tidak akan bersuara untuk
mengungkapkannya. Dia lebih suka menikmati tontonan ini.
Beberapa petugas keamanan bergegas
masuk, lalu mengepung Adriel.
Namun, Heri tahu bahwa petugas -
petugas ini bukan tandingan Adriel. Jadi dia tidak langsung memerintahkan
mereka untuk menyerang.
Heri menutupi wajahnya, matanya
hampir menyemburkan api.
Ditampar di depan umum seperti ini,
rasa malunya tidak bisa dia terima. Jika tidak, bagaimana bisa dia bertahan di
Kota Silas setelah ini?
"Baiklah! Kalau hari ini kamu
bisa keluar dari sini hidup-hidup, nama keluargaku bukan lagi Santoso,"
kata Heri.
Dia mengeluarkan ponselnya untuk
menelepon Dion, Ketua Geng Langit, untuk meminta bantuan.
Di antara para tamu, seorang dirut
wanita yang berdiri di samping Glenny bertanya, " Bu Glenny, apa kamu
mengenal orang ini? Dia berani sekali, ya."
"Aku kenal," jawab Glenny.
"Oh? Apa latar
belakangnya?" tanya presdir wanita itu.
"Aku nggak tahu begitu jelas.
Tapi yang aku tahu, Heri sudah tamat. Perayaan malam ini mungkin akan berubah
menjadi upacara kematian," kata Glenny.
Mendengar itu, dirut wanita tersebut
terkejut, lalu bertanya penuh keraguan, Maksudmu, dia akan membunuh Heri?
Sekarang Heri adalah Wakil Ketua Persatuan Dagang Marlion, yang setara dengan
orang dari keluarga Millano. Di Kota Silas, hampir nggak ada yang berani
menyentuhnya."
"Orang lain mungkin nggak
berani, tapi dia pasti berani," balas Glenny.
Menurut Glenny, Wakil Ketua Persatuan
Dagang Marlion tidak ada apa-apanya. Bahkan ayahnya yang merupakan seorang
mahaguru tingkat lima pun pernah dipukuli oleh Adriel. Dia juga harus membayar
dengan banyak ramuan berharga untuk menyelamatkan nyawanya.
Meski Heri memiliki dukungan dari
keluarga Millano, itu tidak akan ada gunanya.
Keluarga Millano tidak akan mengambil
risiko membuat marah seorang mahaguru hanya demi seorang Heri.
"Apa kamu nggak percaya ?"
tanya Glenny.
"Tentu saja nggak percaya.
Selain itu, aku dengar kalau Heri juga punya hubungan dengan Ketua Geng Langit,
Dion. Malam ini, Dion akan hadir. Orang yang seharusnya mati adalah anak
ini," kata presdir wanita tersebut.
"Bagaimana kalau kita
bertaruh?" kata Glenny.
"Baiklah! Taruhan apa?" tanya
Desy.
"Bagaimana kalau kita bertaruh
tanah yang baru saja kamu dapatkan? Kalau aku menang, kamu akan menyerahkan
tanah itu padaku dengan harga asli," kata Glenny.
"Bu Glenny, taruhan ini agak
terlalu besar. Aku menghabiskan banyak usaha untuk mendapatkan tanah itu.
Begitu pemerintah merilis rencana tata ruang, tanah itu akan bernilai
seenggaknya empat triliun," balas Desy dengan ragu.
"Apa kamu takut? Ini nggak sepertimu.
Kalau aku kalah, aku akan memberikan tempat kedua di sebelahmu dengan harga
asli. Bagaimana?" kata Glenny.
No comments: