Bab 259
Ketika Alan dan seluruh keluarganya
meninggalkan Kota Silas, mereka juga harus membayar mahal, yaitu kehilangan
satu kaki. Semua itu juga sengaja diatur oleh Yunna.
Sekarang, Heri dan keluarganya juga
akan meninggalkan Kota Silas. Hal yang sama juga akan terjadi pada mereka.
Setelah selesai menelepon, Yunna
memanggil pelayan untuk menyajikan sampanye. Mereka berdua pun memulai makan
malam yang romantis.
Heri meninggalkan hotel dengan putus
asa. Dia merasa sangat tidak rela.
Sesampainya di rumah sakit, Thomas
bertanya kepadanya, "Ayah, apa yang terjadi denganmu? Kenapa pesta
perayaannya selesai secepat ini?"
Heri pertama-tama membalik meja dan
melempar gelas di ruang rawat inap untuk melampiaskan amarahnya, membiarkan
Thomas yang berbaring di tempat tidur kebingungan dan tidak tahu apa yang
terjadi.
Heri masih merasa belum puas. Dia pun
menghampiri Thomas dan menamparnya beberapa kali.
"Anak durhaka! Kamu sudah
membuatku celaka. Dasar nggak berguna!"
Heri marah besar.
"Ayah, kenapa Ayah memukulku?
Apa salahku?"
Thomas tidak bisa menggerakkan kedua
lengannya. Dia hanya merasakan sakit yang membakar di wajahnya. Saking
sakitnya, air mata Thomas sampai menetes. Dia merasa diperlakukan tidak adil.
"Memukulmu? Saat ini, aku bahkan
juga ingin membunuhmu! Apa kamu tahu siapa Adriel itu? Juga wanita di sisinya?"
Makin banyak Heri berbicara, makin
dia merasa marah. Heri pun kembali menampar Thomas beberapa kali dengan keras.
"Adriel itu Tuan Lavali! Wanita
di sisinya itu Yunna! Dasar buta, apa kamu itu nggak mengenali Bu Yunna?"
Pada saat ini, Heri benar-benar
mengerti apa itu ditipu orang. Dia benar-benar sudah ditipu putranya sendiri.
Sebenarnya, Heri tidak memiliki
dendam atau konflik apa pun dengan Adriel. Semua ini adalah bencana yang
disebabkan oleh putranya sendiri, Thomas.
"Ini... ini nggak mungkin! Ayah,
Ayah pasti salah. Adriel itu suka berjudi dan pecandu narkoba."
Wajah Thomas sudah membengkak seperti
kepala kerbau. Akan tetapi, dia tidak peduli dengan rasa sakit di wajahnya.
Thomas sendiri juga tidak bisa memercayainya.
"Jangan bicara omong kosong! Aku
melihatnya sendiri. Mana mungkin salah? Adriel itu bukan hanya orang yang
berjasa bagi keluarga Millano, dia juga seorang mahaguru seni bela diri.
Seorang mahaguru seni bela diri yang mampu menantang Jayson. Lantaran kamu
sudah menyinggung perasaannya, keluarga kita benar-benar sudah tamat!"
Heri juga kelelahan setelah memukuli
Thomas. Dia pun terduduk lemas di lantai.
Mendengar hal tersebut, Thomas pun
juga ingin menangis, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Dia benar-benar
merasa putus asa. Terlebih lagi, sudah terlambat untuk menyesalinya.
Di sisi lain, Dion tidak pergi ke
rumah sakit. Dia malah kembali ke Geng Langit dengan tubuh yang terluka parah
untuk menemui Jayson.
Sekarang ini, Jayson sangat jarang
menampakkan diri. Kecuali beberapa murid terdekatnya, orang biasa sama sekali
tidak akan bisa bertemu dengannya. Jayson sendiri tinggal di sebuah halaman
terpisah, di belakang aula Geng Langit.
Dengan dibantu oleh muridnya, Dion
pergi ke halaman luar dan mengetuk pintu.
"Pak, ada sesuatu yang mendesak,
yang harus kulaporkan."
"Masuklah."
Suara Jayson terdengar dari halaman.
Sambil terhuyung-huyung, Dion pun
mendorong pintu dan masuk. Jayson yang sedang mengenakan pakaian latihan
berwarna putih sedang bermeditasi.
Uhuk!
Begitu berlutut, Dion tidak bisa
menahan diri untuk tidak memuntahkan darah.
Jayson membuka matanya. Dion pun buru
- buru berkata, "Pak, maafkan aku karena sudah mengotori tempat meditasi
Anda."
"Kenapa kamu bisa terluka?"
Jayson tidak menyalahkan Dion dan
malah bertanya dengan acuh tak acuh.
"Lapor, Pak. Ada seorang
mahaguru baru di Kota Silas. Dia sudah membunuh Toni dan melukaiku." Dion
tidak berani menyembunyikan apa pun.
"Oh? Siapa yang sudah diangkat
menjadi mahaguru? Muridnya Zamri atau muridnya Osman?" tanya Jayson.
"Bukan keduanya. Dia itu seorang
bocah nakal yang baru berusia sekitar dua puluh tahun bernama Adriel!"
Begitu mendengar ini, wajah Jayson
yang awalnya tampak tenang, kini menunjukkan rasa penasaran.
No comments: