Bab 261
"Oke! Aku pergi bayar
dulu."
"Pergilah, aku tunggu kamu di
sini."
Yunna menopang dagunya dengan satu
tangan sambil menatap Adriel dan hampir meneteskan air mata.
Adriel berdiri, lalu keluar dari
ruangan dan pergi ke meja kasir untuk membayar. Namun di koridor, dia bertemu
dengan Ana yang berjalan dari arah kamar mandi.
Sejak pertengkaran malam itu, Adriel
memutuskan untuk tidak berselingkuh dengan Ana dalam beberapa waktu ini.
Apalagi dalam dua hari terakhir ini
dia sangat dekat dengan Lisa. Mereka sangat lengket satu sama lain, jadi dia
tidak punya waktu untuk memikirkan Ana.
Keduanya saling menatap. Ekspresi Ana
terlihat sedikit kebingungan, juga tampak terkejut, tetapi dia segera
menyembunyikannya.
Bibir Ana bergerak sedikit, tetapi
dia tidak menyapa Adriel dan memilih untuk berjalan melewatinya.
"Hei ... Kenapa pura-pura nggak
kenal? Nggak mau sapa aku?" kata Adriel sambil menoleh.
"Bukannya kamu juga nggak ingin
menyapaku?"
Ana menghentikan langkahnya dan tidak
menoleh.
"Bagaimana kamu tahu kalau aku
nggak ingin menyapamu?"
Adriel sedikit kesal dengan sikap Ana
yang berpura-pura seperti ini!
Waktu di ranjang, kenapa dia tidak
berpura- pura?
"Aku nggak ingin bertengkar
denganmu. Kalau nggak ada urusan apa-apa lagi, aku pergi dulu," ujar Ana.
"Ngapain kamu buru-buru?"
Adriel langsung berjalan menghampiri
Ana, lalu menarik bahunya dan membalikkan tubuhnya. Kemudian, dia pun bertanya,
" Sudah dua hari nggak ketemu, kangen padaku nggak?"
Ana terkejut dan langsung melihat
sekeliling.
"Bisa nggak kamu jangan
berbicara sembarangan di depan umum?"
Jelas Ana tidak ingin orang lain tahu
tentang hubungannya dengan Adriel.
"Kenapa? Kamu sedang berkencan
dengan seseorang, ya? Takut ketahuan?" tanya Adriel dengan nada bercanda.
"Kalau iya kenapa?" ucap
Ana dengan ketus.
Adriel mengernyit sambil memegang
dagu Ana dan langsung menekannya ke dinding, lalu berkata, "Memangnya aku
sudah setuju kamu berkencan dengan orang lain?"
Ana berusaha keras mendorong Adriel,
tetapi gagal. Lalu, dia merendahkan suaranya dan berkata, "Apa hubungannya
denganmu? Kenapa aku harus meminta persetujuanmu? Adriel, ingat, ya. Lebih baik
kelak kita jangan saling mengusik lagi. Aku sudah lupa dengan apa yang terjadi
sebelumnya, jadi sebaiknya kamu juga lupakan saja. Lebih baik jangan biarkan
orang ketiga tahu. Kalau nggak, aku nggak akan melepaskanmu."
"Bahkan kalau sekarang kamu
punya kemampuan, aku juga punya cara untuk membunuhmu."
Setelah selesai berbicara, Ana
mendorong Adriel, lalu pergi tanpa menoleh.
"Masih berani mengancamku? Ana,
sepertinya pantatmu harus dipukul lagi."
Melihat tubuh Ana yang padat dan
berisi, Adriel juga tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa gatal.
Makin sombong Ana, makin Adriel ingin
memukul pantatnya dengan keras dan mendengarnya memohon ampun.
Adriel diam-diam mengaktifkan
penglihatan mata gandanya untuk melaçak Ana.
Ana berjalan ke ruangan lain dan
benar saja ada seorang pria paruh baya di dalamnya. Namun, orang ini menatap
Ana dengan penuh nafsu seperti seorang pria tua yang cabul.
Adriel tidak merasa bahwa Ana
tertarik pada pria seperti ini.
"Sepertinya aku terlalu banyak
pikir."
Sekarang Ana adalah wanitanya, dia
tidak akan membiarkan pria lain menyentuhnya.
Adriel pergi ke kasir untuk membayar
tagihannya sambil diam-diam memperhatikan situasi di dalam ruang VIP Ana dengan
mata batinnya.
No comments: