Bab 266
"Tolong jangan bunuh aku. Aku
belum melakukan apa pun padanya! Kalau kamu melepaskanku, aku bisa memberimu
banyak uang. Aku juga bisa memberikan persetujuan pinjaman kepada Ana. Tapi
kalau aku mati, pinjamannya nggak akan disetujui."
Liam ketakutan karena Adriel sudah
menarik separuh tubuhnya keluar jendela.
Angin dingin yang menderu di luar
jendela membuat rambut tipis Liam menjadi berantakan. Saking takutnya, celana
Liam sampai basah.
Melihat air kencing Liam yang terus
merembes, Adriel dengan jijik berkata, " Kenapa kepala bank yang gagah
sepertimu nyalinya kecil sekali? Hanya masalah kecil saja bisa membuatmu sampai
terkencing kencing. Orang sepertimu nggak pantas menjadi kepala bank, lebih
baik mati saja."
Liam hampir pingsan karena perkataan
Adriel ini, lalu dia mengumpat dalam hati, " Síalan, kenapa bicaranya
seperti ini? Ini adalah masalah hidup dan mati, bukan masalah kecil."
Yang mati juga bukan dia. Macam
seorang pembunuh saja. Apa pantas mengatakan hal seperti itu?
Adriel tidak akan menunjukkan belas
kasihan dan tidak ingin mendengar permohonan maaf dari Liam lagi. Dia hendak
melemparnya keluar.
"Tunggu sebentar!"
Pada saat itu, Ana yang tidak
sadarkan diri di tempat tidur tiba-tiba terbangun dan berteriak dengan keras.
Namun, dia terlambat. Begitu Adriel
melepaskan tangannya, Liam langsung jatuh bersamaan dengan teriakan
histerisnya.
Ana segera berlari menghampiri.
Ketika sampai di jendela, dia hanya mendengar suara keras dari lantai bawah.
Tidak perlu diragukan lagi, Liam
pasti mati karena terjatuh.
"Kamu!"
Ana sangat marah, dia mengangkat
tangannya dan menunjuk Adriel.
Adriel menepuk jarinya sembari
berkata, " Apa kamu-kamu? Orang ini sudah mati. Kamu sedih, ya?"
"Adriel! Kamu sudah mengacaukan
rencana baikku!" ujar Ana dengan ekspresi marah.
Adriel langsung marah ketika
mendengarkan perkataan ini. Kecemburuan di hatinya juga muncul.
"Mengacaukan hal baik apa? Ana
... Ana, aku benar-benar salah kira. Aku nggak nyangka kamu bisa tertarik pada
pria semacam ini. Aku baru dua atau tiga hari nggak menyentuhmu, kamu sudah
nggak sabar?"
Mendengar perkataan itu, Ana menjadi
lebih marah lagi. Dia pun mengangkat tangan dan langsung menampar Adriel.
Tentu saja Adriel tidak akan
membiarkan Ana menamparnya. Dia langsung mencengkeram pergelangan tangan Ana.
"Dasar berengsek!"
"Terima kasih atas pujianmu,
semua ini aku pelajari darimu," kata Adriel dengan ketus.
Ternyata Ana merasa kasihan dan
peduli pada Liam yang menjijikkan itu. Hal ini membuat Adriel sangat sedih.
Adriel langsung mengerti setelah
mengucapkan perkataan itu. Ana tidak mungkin tertarik pada Liam. Dia bersedia
mengorbankan dirinya sendiri pasti demi uang, demi pinjaman.
Ana menarik tangannya kembali dengan
kuat. Masalah sudah sampai seperti ini, dia tidak punya pilihan lagi.
"Kamu anggap aku ini apa? Kamu
itu pria kedua yang menyentuhku dan kamu akan menjadi yang terakhir. Aku
berhubungan dengan Liam semata-mata hanya untuk pinjaman! Kamu pikir aku nggak
tahu dia itu seperti apa?" kata Ana dengan marah.
"Untuk sebuah pinjaman, kamu
sampai rela mengorbankan tubuhmu sendiri?"
Mendengar Ana mengatakan bahwa dia
adalah pria terakhir, seketika Adriel merasa lega.
"Siapa yang bilang padamu kalau
aku akan mengorbankan tubuhku? Memangnya aku sebodoh itu?" kata Ana dengan
ketus.
"Dulu aku pikir kamu nggak
bodoh, tapi hari ini aku pikir kamu cukup bodoh, bisa sampai dibius Líam dengan
cara serendah itu dan kamu masih merasa pintar? Kalau bukan karena aku yang muncul
tepat waktu, sekarang kamu sudah jadi korban dia."
Adriel rasa dia perlu mengkritik Ana
dengan baik agar Ana bisa meningkatkan kesadaran akan perlindungan terhadap
dirinya. Jangan sampai ada pria bejat yang memanfaatkan celahnya.
No comments: