Bab 268
"Apa salahnya membunuh orang
yang pantas mati? Hal kecil saja, kok. Aku bisa menyelesaikannya," ucap
Adriel dengan santai.
"Dia kan nggak menyinggungmu,
kenapa dia harus mati? Bisa nggak kamu jangan begitu sombong?"
Ana merasa Adriel terlalu sombong dan
arogan. Dia begitu menyombongkan keahliannya. Cepat atau lambat dia akan
mengalami masalah.
"Dia berani merayumu, tentu saja
dia harus mati. Jangankan kepala bank, bahkan kalau dia itu walikota, dia juga
harus mati!" kata Adriel dengan angkuh.
Tentu saja Adriel tahu apa yang harus
dia katakan di saat seperti ini agar bisa membuat wanitanya senang. Wanita mana
yang tidak suka jika pria mereka bersikap dominan untuk melindungi mereka?
Ana adalah wanita tangguh. Dia
berharap pasangannya bisa lebih dominan dan berkuasa darinya. Jika tidak,
bagaimana bisa cocok dengan dirinya?
Harus diketahui bahwa Adriel cepat
tanggap dan tahu bagaimana pemikiran wanita.
Meskipun Ana tidak mengatakannya, dia
merasa lebih nyaman setelah mendengar kata-kata ini.
"Walikota Kota Silas itu seorang
wanita!"
Ana merasa senang dalam hati, Namun,
karena dia tidak mau menunjukkan perasaannya di depan Adriel, dia pun
mengalihkan topik pembicaraan.
"Wanita juga nggak bisa! Bagaimana
kalau Yudhistira suka wanita juga?" kata Adriel dengan tegas.
"Pfft!"
Ana jarang sekali tertawa dibuat
Adriel. Kali ini, Ana sampai tertawa terbahak-bahak, tetapi kemudian dia
langsung menahan tawanya dan berkata dengan serius, "Jangan bicara sembarangan."
Ana masih mengumpat Adriel dalam hati
dengan tidak puas, kemudian berpura-pura berkata dengan serius, "Aku
sedang serius, loh. Walaupun sekarang kamu mampu, kamu harus tahu ada yang
lebih kuat di antara yang kuat. Kamu nggak boleh bertindak seenaknya seperti
ini. Takutnya suatu saat nanti kamu yang rugi. Kamu kira kamu itu seorang
mahaguru dan bisa membunuh siapa pun yang kamu inginkan?"
Adriel mengedipkan matanya sembari
berkata, "Kamu benar-benar wanita cerdas, kamu bahkan tahu kalau aku itu
seorang mahaguru."
Adriel yang tiba-tiba berkata seperti
itu membuat hati Ana bergetar dan agak tidak terbiasa.
Adriel sudah lama tidak memujinya
seperti itu. Apalagi dengan hubungan mereka sekarang, tidak cocok untuk
memujinya seperti itu lagi.
Ana tersipu malu, lalu Adriel pun
bertanya, " Kenapa wajahmu memerah?"
"Mana ada! Jangan bicara
sembarangan."
Ana sibuk menutup wajahnya dan
berbalik.
"Jangan menyangkal, aku sudah
lihat, kok."
Adriel merasa bangga.
"Aku itu sedang serius, apa kamu
bisa serius sedikit?"
Ana merasa dia sudah kehilangan
segala kewibawaannya di depan Adriel.
"Aku juga sedang serius..."
"Jangan puji aku seperti itu
lagi!" kata Ana sambil mengernyit.
"Kenapa sih? Kamu memang cerdas.
Dulu begitu, sekarang begitu, kelak juga begitu."
Akhirnya Adriel tahu mengapa Ana
tersipu malu. Ternyata pujian ini yang membuatnya merasa malu. Ini benar-benar
memalukan!
Ana segera menutup kedua telinganya
dengan kedua tangannya.
"Ada yang mau kukatakan, tapi
aku nggak tahu apa aku harus mengatakannya atau nggak," ucap Adriel sambil
menghampiri Ana.
"Katakan saja! Setelah itu,
cepat pergi dari sini. Nanti petugas dari Departemen Keamanan Kota akan datang.
Nanti masalah ini aku yang tangani saja. Semua ini nggak ada hubungannya
denganmu," ujar Ana dengan serius.
"Kamu baik sekali padaku. Aku
sudah membunuh seseorang, kamu masih mau membantuku. Padahal sebenarnya nggak
perlu, satu telepon saja bisa kuselesaikan."
Adriel berani membunuh Liam, tentu
saja dia sudah mempertimbangkan konsekuensinya. Ini sama sekali tidak akan
memengaruhinya.
"Oke, jangan membual lagi di
hadapanku. Aku tahu kamu itu punya banyak uang. Tapi, masalah ini nggak bisa
kamu selesaikan dengan uang."
Ana terlihat sedikit marah. Dia
merasa Adriel tidak menghargainya dan juga agak sombong. Jika terus seperti
ini, takutnya akan ada masalah.
Dia akan mencari kesempatan untuk
berbicara dengan Adriel dengan baik agar Adriel sadar bahwa drinya tidak boleh
sembarangan menggunakan kekuatannya.
Adriel berkata, "Aku nggak suka
berbohong. Aku hanya suka melakukan tindakan nyata!"
"Adriel!"
Ana mengangkat alisnya yang tebal,
matanya juga terbelalak. Dia marah!
Pada saat ini, terdengar suara sirine
polisi dari lantai bawah. Jelas ada yang lapor polisi, orang-orang dari
Departemen Keamananan Kota juga datang.
"Cepat sekali datangnya. Ayo,
kita pergi."
Wajah Ana berubah pucat. Dia menarik
tangan Adriel dan membawanya keluar dari. ruangan. Kemudian, mereka langsung
naik lift ke lantai bawah dan masuk ke dalam mobil.
Adriel merasa agak terharu,
sepertinya Ana masih sangat mencintainya. Malam ini, dia pasti harus memberikan
hadiah kepada Ana. Jika tidak, dia akan merasa bersalah atas perhatian Ana.
Wajah Ana agak pucat, terlihat jelas
kalau hatinya tidak tenang.
Meskipun dia memiliki keterampilan
dan kemampuan, tidak mudah baginya untuk menyelesaikan masalah ini.
Bahkan Ana sudah siap untuk melakukan
segalanya, meninggalkan segalanya di Kota Silas dan melarikan diri bersama
putrinya.
Tentu saja dia juga harus melarikan
diri bersama Adriel.
Ini adalah rencana terakhirnya. Dia
duduk di dalam mobil sambil memikirkan cara untuk memperbaiki situasi.
"Apa yang kamu pikirkan? Kalau
ada masalah, setelah kembali baru pikirkan lagi, "kata Adriel sambil
meraba pahanya.
Ana malas berdebat dengan Adriel. Ana
menepis tangannya dengan keras, lalu berkata dengan tegas, "Pergi dari
sini dan pulang ke rumah dulu, aku mau ambil beberapa barang. Malam ini nggak
bisa tinggal di rumah."
Adriel menyalakan mobil dan pergi
dari hotel bersama Ana.
Sepanjang jalan, Ana tidak mengatakan
sepatah kata pun. Raut wajahnya juga berubah-ubah, seperti sedang memikirkan
strategi.
Melihat situasi ini, Adriel tidak
mengungkapkan identitasnya. Dia ingin membiarkan Ana merasa takut sejenak!
Setelah sampai di rumah, Ana berkata,
" Tunggu aku di mobil!"
Ana pun bergegas naik ke ruang kerja
lantai atas. Kemudian, dia membuka brankas dan memasukkan semua barang penting
ke dalam kotak dan kembali ke dalam mobil dengan terburu-buru. "Apa kamu
berencana mau langsung kabur?"
No comments: