Bab 297
Dia menyuruh para tentara garnisun
itu menelungkup di tanah. Jelas ini adalah penghinaan bagi mereka.
Namun, nyawa Pak Pratikno ada di
tangan Adriel, jadi mereka tidak berani melawannya. Kalau tidak, dengan sifat
Joshua yang keras kepala, mereka pasti akan mati kalau terjadi apa-apa dengan
Pak Pratikno.
Pratikno sangat ketakutan, dia pun
berteriak kepada para tentara garnisun itu, "Ngapain kalian masih berdiri
begitu? Kalian tuli, ya? Cepat telungkup!"
Para tentara garnisun itu pun
membuang senjata mereka, lalu menelungkup di tanah dan tidak berani
menengadahkan kepala mereka.
Adriel membawa Pratikno naik mobil
dan langsung meninggalkan Rumah Pensiunan.
Para tentara garnisun yang
mengelilingi Rumah Pensiunan telah mendapatkan informasi dan tidak berani
menghalangi, apalagi mengejar.
"Apa kamu bisa melepaskanku
sekarang?"
Pratikno duduk di kursi penumpang
depan, ekspresinya penuh dengan kepanikan.
"Lihat sikapmu ini, makin tua
makin takut mati. Ayah seorang jenderal garnisun malah takut seperti ini? Nggak
ada keberanian sedikit pun."
Adriel sama sekali tidak simpati
terhadap Pratikno. Dia berbicara dengan sangat tidak sopan.
Pratikno membela dirinya dengan tegas
dan berani, "Waktu muda, saat bergabung dengan militer sudah banyak
menderita, juga terluka. Akhirnya, aku berhasil melihat putraku mencapai
kesuksesan dan menjadi jenderal garnisun. Sekarang, aku bisa hidup dengan
tenang dan punya kekuasaan. Tentu saja, aku takut mati!"
"Pemuda sepertimu nggak pernah
mengalami penderitaan, jadi kamu sama sekali nggak mengerti betapa kami sangat
menghargai hidup setelah bisa hidup lebih baik. Cepat lepaskan aku."
Adriel memarkirkan mobilnya di
pinggir jalan.
"Turun! Sebelum pergi, aku mau
kasih tahu kamu sebuah berita baik. Dengan kondisi tubuhmu saat ini, kalau kamu
nggak bisa bertahan dalam sebulan ini, kamu akan mati. Paling lama hanya bisa
hidup setengah tahun saja, jadi hargailah hidupmu dengan baik!"
Mendengar perkataan itu, Pratikno
mengumpat dalam hati, "Berita bagus apanya?"
Jika sebelumnya ada orang yang bekata
bahwa dia tidak akan hidup lebih dari setengah tahun, dia pasti akan langsung
memukul orang itu dengan tongkatnya dan memecahkan kepalanya.
Namun, Adriel berhasil menyembuhkan
Bambang yang menderita penyakit lama dan sulit disembuhkan. Dia juga dengan
tepat mengungkapkan penyakit tersembunyi itu serta kondisi tubuhnya. Hal ini
membuat Pratikno mau tidak mau memercayai perkataan Adriel.
"Aku nggak mau mati! Tolong
obati aku. Asalkan kamu bisa menyelamatkanku, aku akan melupakan semua masalah
itu."
Pratikno terlalu takut mati. Dia
terpaksa berkompromi, bahkan tidak menuntut tentang cucunya yang dipukul hingga
terluka parah.
Pratikno tentu tidak begitu murah
hati. Keluarga Herman hanya memiliki satu garis keturunan, semuanya adalah anak
tunggal dan nyawa cucunya juga sangat berharga
Dia hanya ingin menipu Adriel untuk
menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu, lalu berbalik melawannya.
"Kamu nggak mau mati? Apa
hubungannya denganku? Aku nggak mau menyembuhkanmu. Cepat turun dari mobil ini.
Kalau nggak, aku akan membawamu menemui raja neraka lebih awal."
Ketika Adriel melepaskan kekuatan
seorang mahaguru, wajah Pratikno langsung pucat saking ketakutan. Dia pun turun
dari mobil dan melihat mobil Adriel melaju menjauh.
Dia terkena debu yang tersapu oleh
roda mobil, sehingga membuat wajahnya menjadi kotor. Dia terbatuk-batuk dan
sangat marah. Tongkat yang dipegangnya juga dipukul ke tanah beberapa kali.
"Dasar binatang, bajingan!"
maki Pratikno.
Pratikno sama sekali tidak peduli
dengan citranya. Dia mengumpat dengan keras, berharap bisa memecahkan tengkorak
Adriel dengan tongkat di tangannya.
"Dasar berengsek! Di Kota Silas,
kamu nggak akan bisa lari dari tangan keluarga Herman!"
Dia tidak peduli dengan nyawanya
sendiri. Demi martabat keluarga Herman dan dendam cucunya, dia tidak akan
melepaskan Adriel.
Para tentara garnisun datang dengan
cepat. Seseorang membawa Dalan yang terluka parah ke rumah sakit dengan mobil.
"Apakah Pak Pratikno baik-baik
saja?"
Para tentara garnisun berjalan ke
depan Pratikno, lalu memberi hormat.
No comments: