Bab 895
Fendi menatap Adriel dengan wajah
dingin, lalu berujar, "Jangan bicara omong kosong. Kamu hanya kehilangan
seorang wanita, tapi sudah mau membunuh orang! Apakah nyawa wanita-wanita itu
sebanding dengan nyawa Pak Nando? Hari ini, meski aku membunuhmu, apa yang bisa
dilakukan keluarga Juwana setelahnya?"
Kata-katanya terdengar seperti
ancaman, tetapi sebenarnya Fendi hanya ingin agar Adriel segera pergi.
Lagi pula, Adriel sebelumnya bisa
menahan beberapa serangan dari master puncak tingkat delapan. Ini membuat Fendi
ragu untuk bertarung dengannya. Dia tidak terlalu yakin bisa menang, jadi lebih
memilih untuk menghindari pertempuran.
Selain itu, meski Nando tidak takut
dengan balas dendam dari keluarga Juwana, tetapi Fendi takut dengan itu.
Dia berharap bisa menakut-nakuti
Adriel agar pergi.
Fendi merasa alasannya cukup masuk
akal. Menurut pandangannya, membunuh Nando hanya karena beberapa orang wanita
terdengar sangat konyol.
Namun, Adriel justru menjawab dengan
tindakan, bukan kata-kata.
Bum!
Tubuh Adriel melesat seperti peluru
yang keluar dari meriam, menyerang dengan kecepatan luar biasa. Kekuatan
dahsyat yang dikeluarkan seakan-akan menerbangkan angin kencang di dalam
ruangan!
Semua botol minuman di atas meja
terlempar oleh kekuatan ganas, pecah hingga berkeping-keping!
Para pemuda kaya yang ada di sana
dengan cepat mundur ketakutan.
Nancy yang menyaksikan pertempuran
ini, hanya bisa menghela napas. Dia melindungi Aurel sambil melangkah mundur.
Pertarungan antara master puncak ini
bukanlah sesuatu yang bisa mereka campuri.
Di bawah kekuatan yang begitu
mengerikan, Fendi segera menarik Nando, bergerak mundur dengan cepat. Dia
meluncur seperti daun yang jatuh, menggunakan momentum Adriel untuk menghindari
serangannya. Ketika mereka mendarat dengan ringan di tanah, Fendi dan Nando tak
terluka sama sekali.
Namun, saat mereka melihat tempat di
mana Fendi tadi berdiri, sudah ada lubang besar yang menembus lantai. Besi-besi
yang patah terlihat menonjol keluar, memperlihatkan lantai di bawahnya.
Melihat Adriel yang melancarkan
serangan mematikan, wajah Fendi menjadi sangat kelam. Día segera mendorong
Nando menjauh dengan kekuatan lembut.
"Dasar nggak tahu diri!"
teriak Fendi dengan marah.
"Pak Nando, tunggulah sebentar,
aku akan membunuhnya!" lanjut Fendi.
Kemudian, dia menatap Adriel dengan
tangan di belakang punggungnya sambil mengancam, "Aku memberimu kesempatan
karena menghormati keluarga Juwana. Apa kamu benar-benar berpikir aku nggak
berani membunuhmu?"
"Kau pikir aku bertindak hanya
karena dilindungi oleh leluhur keluarga Juwana?" jawab Adriel dengan
tenang.
"Kalau bukan begitu, apa
lagi?" balas Fendi sambil mendengus marah. Dia melanjutkan, "Mereka
hanya beberapa wanita rendahan seperti semut. Tanpa perlindungan dari leluhur
keluarga Juwana, bagaimana bisa kamu berani bertindak seenaknya di sinil"
Adriel memandang mayat Meri dan
wanita-wanita lainnya, lalu menatap Nando yang tampak sombong, serta Fendi yang
ekspresinya tampak dingin.
Tatapan Adriel dipenuhi dengan
sindiran. Lalu, dia berkata, "Di mata kalian, mereka hanyalah rakyat
jelata yang bisa kalian permainkan sesuka hati. Membunuh mereka nggak akan
membawa konsekuensi apa-apa bagi kalian. Wanita-wanita ini, kalau mati ya
sudah. Bagi kalian, statusku bahkan jauh lebih tinggi daripada nyawa mereka.
Aku nggak perlu bertindak demi orang-orang seperti mereka..."
Nando dengan sombong memandang
Adriel, lalu berkata dengan tegas, "Bukannya memang begitu? Aku hanya
bermain-main dengan beberapa wanita sampai mereka mati, apa itu masalah besar?
Kamu terus mengejar masalah ini, padahal sebenarnya kamu hanya menargetkanku!"
Fendi juga menatap Adriel dengan
pandangan dingin, memikirkan hal yang sama.
Tidak mungkin Adriel merasa tidak
puas hanya karena hal ini, lalu ingin membunuh Nando, 'kan?
Sudah tahun berapa sekarang? Mana ada
orang sok pahlawan yang bodoh seperti itu?
Menurut mereka, Adriel bersikeras
untuk bertindak bukan karena rasa keadilan, tetapi karena adanya tujuan lain.
Adriel memandang mayat Meri dan
wanita-wanita lainnya. Dia tampak tenang seperti gunung berapi yang siap
meletus.
Adriel berkata, "Mereka hanyalah
orang-orang biasa, orang jujur yang bekerja keras untuk hidup. Mereka nggak
meminta banyak hal, hanya ingin hidup dengan damai, mencari nafkah dengan
jujur, tanpa mengganggu siapa pun. Mereka nggak merasa iri dengan kemewahan
yang kalian miliki. Mereka hanya ingin menjalani hidup sederhana. Masuk
universitas, meringankan beban keluarga, serta sesekali makan di restoran enak.
Hal-hal kecil seperti itu sudah membuat mereka bahagia."
"Mereka... hanya ingin hidup
dengan cara sederhana seperti itu. Nggak meminta lebih. Hari ini, mereka nggak
mengganggu kalian, mereka hanya ingin berbelanja dengan bahagia. Apa kesalahan
mereka?" lanjut Adriel
Mendengar ini, Aurel tak kuasa
menahan air matanya. Dia menangis terisak karena tak sanggup mendengar lebih
lanjut.
"Apa yang kamu coba
katakan?" kata Nando dengan tidak sabaran.
"Diam!" teriak Adriel
dengan keras.
Suaranya menggelegar seperti guntur,
kekuatan dari seruan itu membuat Fendi merasa terkejut, hingga dia buru-buru
melindungi Nando lagi.
Adriel melanjutkan, "Nando, kamu
berpikir kalau dirimu adalah manusia yang lebih tinggi derajatnya dari orang
lain. Kamu punya kekuasaan dan uang! Kamu adalah cucu kesayangan leluhur
keluarga Forez, sehingga kamu bisa berbuat sesuka hati! Kamu pikir, hanya
karena kamu mau, kamu bisa mengambil tubuh dan nyawa gadis-gadis ini tanpa ada
yang bisa menghentikanmu!"
No comments: