Bab 903
Dan memang, hal mengerikan yang
terjadi selanjutnya benar-benar seperti itu...
Adriel mengarahkan aliran energi
sejatinya, memotong hidung Nando, mencungkil kedua matanya, memutuskan kedua
lengannya, bahkan menarik rambutnya hingga kulit kepalanya ikut terkelupas!
Aurel dan Nancy yang menyaksikan
pemandangan itu tidak sanggup menahan diri, mereka memalingkan wajah dan muntah
hebat.
Nando tidak mampu lagi mengucapkan
satu kata pun. Dengan lidah yang sudah terpotong, mulutnya hanya bisa
mengeluarkan suara jeritan serak.
Dulu, dia adalah seorang pemuda yang
sombong, tetapi sekarang dia seperti cacing yang tak berdaya merayap di tanah
dengan penuh kesedihan.
"Akhirnya, puas juga!" ujar
Adriel sambil tersenyum puas, meski ada sedikit rasa kecewa di wajahnya.
"Sayangnya, hanya bisa sampai di
sini saja."
Dengan tenang, dia melepaskan satu
lagi serangan energi sejati yang memutus kepala Nando dari tubuhnya.
Adriel kemudian bangkit perlahan,
kedua tangannya berlumuran darah, menatap karyanya dengan puas. Dia menarik
napas panjang, seolah-olah beban di dadanya akhirnya terangkat.
Dia menatap tubuh Meri dan yang
lainnya yang sudah tidak bernyawa, menghela napas dan berkata, "Semoga di
alam sana, kalian bisa terus membalas dendam padanya."
Adriel bukanlah orang yang kejam
tanpa alasan.
Namun hanya dengan cara ini, roh Meri
dan yang lainnya bisa melihat bahwa orang jahat itu akhirnya mendapatkan
ganjaran yang seharusnya.
Para pemuda kaya yang menyaksikan itu
semua tampak ketakutan. Di mata mereka, Adriel tampak seperti sosok iblis
pembalas dendam, seorang yang benar-benar haus darah, yang telah mengubah Nando
menjadi sosok yang mengerikan!
Dan saat itu, Adriel mengangkat
matanya, menatap mereka yang tersisa dengan senyum sinís di bibirnya,
"Cerobohnya aku. Sibuk membunuh dia sampai lupa ada kalian di sini...
"
Satu tatapan itu sudah cukup membuat
nyali para pemuda itu ciut. Mereka berlarian sambil menjerit ketakutan, bahkan
ada yang sampai kencing di celana dan muntah-muntah.
Bruk!
Salah satu dari mereka jatuh tersungkur
ke lantai, pingsan seketika karena ketakutan!
"Pak Adriel, ampunilah
kami!"
Mereka serentak berlutut, memohon
belas kasihan, mengetuk-ngetuk kepala mereka ke lantai dengan penuh ketakutan,
"Kami cuma ikut-ikutan, nggak pantas mati seperti ini! Semua ini gara-gara
Nando, dia yang memaksa kami melakukannya!"
Adriel hanya tersenyum tipis dan
menggelengkan kepalanya. "Itu nggak penting lagi..." ujarnya.
Kalimat itu seakan-akan menjatuhkan
mereka ke jurang keputusasaan yang terdalam.
Beberapa dari mereka berpaling pada
Nancy, memohon, "Nona Nancy, tolong selamatkan kami!"
Namun, Nancy yang masih sibuk muntah
tidak bisa peduli dengan keselamatan para pemuda kaya itu.
Bahkan kalaupun bisa, dia tidak akan
memohon untuk mereka.
Adriel memandang ke arah Nancy sambil
tersenyum ringan, "Nona Nancy, kamu mau memohon untuk mereka?"
Dengan menahan rasa mual, Nancy
memandang pemandangan di depannya, wajahnya penuh keputusasaan. Dia menghela
napas panjang dan berkata, "Bunuh saja, bunuh mereka semua! Mereka semua
memang pantas mati!"
Setelah membunuh Nando, apa bedanya
dengan yang lain ini?
Sekalian saja bunuh semua.
"Kalau aku memohon untuk mereka,
hanya akan membuatku terlihat lemah di mata Adriel," pikirnya dalam hati.
Selesai bicara, dia melirik tubuh
Nando yang sudah tak utuh lagi. Nancy kembali mual dan dalam hatinya mengutuk
Adriel sebagai orang yang terlalu kejam, kejam dengan cara yang bahkan Nando
tidak pernah bayangkan dalam mimpi buruknya.
Adriel mengangkat tangannya,
mengarahkan energi sejati yang membentuk bilah pedang yang melesat cepat,
langsung memutus kepala para pemuda itu dalam sekali tebasan!
"Luar biasa memuaskan!"
seru Adriel, tertawa lepas di tengah semburan darah yang berceceran di
sekelilingnya.
Suaranya yang penuh kepuasan menggema
ke seluruh ruangan, seakan seluruh kemarahan yang terpendam dalam dirinya
terlepas bersamaan dengan tawanya.
Nancy memandang Adriel dengan tatapan
rumit. Di matanya ada campuran antara penyesalan, keputusasaan dan sebersit
kekaguman yang tersembunyi. Dia berbisik pelan, "Mentari terbit tinggi di
langit timur, segala perkara di dunia tampak kecil. Orang sederhana yang marah
akan ketidakadilan, menghunus pedang abadi yang tidak pernah terlepas dari
sarungnya!"
"Itulah dirimu, Adriel..."
No comments: