Bab 919
Di dalam sebuah kamar di sanatorium.
Jasai berdiri dengan tangan di
belakang sambil menghadap ke luar jendela.
Kalvin berdiri hati-hati di
belakangnya, sementara Nancy menceritakan kejadian yang terjadi di Klub
Platinum.
Setelah cerita selesai, keheningan
menyelimuti ruangan. Jasai tetap tidak bergerak sedikit pun, menciptakan
suasana yang penuh tekanan.
Kalvin dengan hati-hati berkata,
"Leluhur, setidaknya Pak Adriel masih selamat untuk sementara."
Nancy buru-buru menambahkan,
"Pak Adriel telah lolos dari situasi mematikan beberapa kali, aku rasa dia
nggak akan mati begitu saja."
Namun, dalam hati mereka sendiri,
mereka juga tidak merasa terlalu yakin. Masalah yang dihadapi Adriel kali ini
terlalu besar.
Jasai tetap diam.
Ketika melihat ini, Kalvin dan Nancy
bisa merasakan emosi muram dari leluhur mereka, membuat keduanya tidak berani
berbicara lagi. Di dalam hati, mereka hanya bisa menghela napas.
Leluhur mereka telah lama
mengasingkan diri, jarang berhubungan dengan orang luar. Namun, dia memiliki
hubungan yang cukup baik dengan Adriel. Ada semacam ikatan persahabatan lintas
generasi di antara mereka.
Namun, sekarang Adriel akan mati.
Kemungkinan besar, leluhur yang selalu tenang seperti danau itu akan merasa
sangat terpengaruh.
Setelah waktu yang lama berlalu,
Jasai akhirnya menghela napas panjang, lalu berkata, "Jaga baik- baik
wanita dan teman-teman Pak Adriel.
Setidaknya ini bisa dianggap sebagai
bentuk penghormatan terakhir atas pertemanan kita."
"Dimengerti," jawab Kalvin
segera dengan anggukan.
Meski mereka menjaga wanita dan
teman-teman Adriel, keluarga Juwana harus menanggung tekanan besar dari
keluarga Forez.
Apa yang dilakukan leluhur ini bisa
dikatakan sudah sangat murah hati.
"Aku nggak tahu di mana Pak Adriel
bersembunyi sekarang. Aku sudah menyiapkan orang-orang untuk membantunya
melarikan diri... " kata Kalvin dengan ragu.
Dia melanjutkan sambil mengerutkan
kening, "Tapi sekarang kita nggak bisa menemukannya."
"Dia nggak akan kembali,"
ujar Jasai sambil menggelengkan kepala.
"Apa Pak Adriel nggak memercayai
kita?" tanya Kalvin dengan terkejut.
Mengingat perintah langsung dari
leluhur keluarga Forez, seluruh Sagheru harus memberikan rasa hormat. Apakah
Adriel merasa keluarga Juwana tidak akan mampu menahan tekanan, sehingga
khawatir mereka akan mengungkapkan keberadaannya?
Setelah mendengar ini, Jasai
memandang Kalvin sekilas dengan tajam, lalu berkata, "Jangan berpikir
seperti orang picik! Pak Adriel bukan tipe orang seperti itu!"
"Dengan sifatnya, dia pasti
khawatir kalau dia kembali, itu akan membuat kita dalam posisi yang sulit. Dia
nggak mau merepotkan kita!" lanjut Jasai.
Kalvin hanya bisa mengangguk setuju
dengan senyum kaku, lalu berpikir dalam hati, "Kamu memang sangat memahami
Adriel."
"Sudahlah, kita serahkan saja
pada takdir," kata Jasai sambil menghela napas penuh penyesalan.
Pada saat itu, seorang penjaga
tiba-tiba mengetuk pintu dari luar, lalu berkata, "Pak Kalvin, ada surat
untukmu di depan pintu!"
"Tahun berapa sekarang? Siapa
yang masih menulis surat?" gumam Kalvin yang tampak bingung.
"Itu dari Adriel!"
Wajah Jasai tiba-tiba berseri-seri,
lalu dia segera berkata, "Cepat bawa ke sini!"
Kalvin segera tersadar, lalu dengan
cepat membuka pintu untuk mengambil surat dari tangan penjaga. Lalu, dia
menyerahkannya kepada Jasai.
Jasai hendak membuka surat itu,
tetapi Kalvin dengan hati-hati berkata, "Leluhur, bagaimana kalau kita
nggak perlu terlibat lagi? Kita sudah sangat baik padanya. Sekarang, kalau kita
tetap berhubungan dengannya, rasanya ini nggak bijaksana... "
Namun, sebelum Kalvin bisa
melanjutkan, dia terdiam. Jasai tampak sedang menatapnya dengan dingin, membuat
Kalvin terdiam ketakutan, tak berani berkata lebih jauh.
Baru setelah itu Jasai membuka surat
tersebut, lalu mulai membacanya. Dia tertegun seketika. Setelah beberapa saat,
dia tersenyum pahit sambil menggelengkan kepala, lalu berkata, "Adriel,
Adriel, pada saat seperti ini kamu masih memikirkan hal- hal seperti ini."
No comments: