Bab 936
"Adriel muncul!"
Entah siapa orang tersebut, tiba-tiba
terdengar suara teriakan kencang.
Semua orang segera melihat ke atas
dan pergi dengan penuh semangat.
Kalvin menghela napas berat dalam
hatinya, dengan ekspresi putus asa yang tersirat di matanya.
Sementara itu, Elin sedikit
mengernyit sambil menatap dengan tatapan dingin.
Tiba-tiba gerbang Kantor Gubernur
terbuka.
Adriel keluar dengan tenang,
sedangkan Tanto mengikutinya dengan hati-hati.
"Wah, pemandangan yang luar
biasa..."
Adriel melihat pemandangan itu dan
berkata sambil tersenyum.
"Adriel..."
Wajah Elin penuh kebencian, lalu dia
bertanya dengan nada dingin, "Apa kamu siap untuk mati?"
Riko menatap Adriel dari atas dengan
angkuh, lalu menyela sambil tersenyum tipis, "Dengan begitu banyak orang
yang mengantarmu pergi, kamu memang pantas mati."
"Riko, aku sudah lama nggak
memakimu, kulitmu gatal lagi, ya? Apa kamu datang secara pribadi ke Kota Majaya
untuk sengaja dimaki? Dasar bajingan."
Adriel sama sekali tidak segan kepada
Riko. Dia langsung mematahkan pertahanan Riko dengan satu kalimat. Sedangkan
Riko ingin segera mencabik cabik Adriel
"Kalau kamu terus bersikeras,
aku akan melihatmu mati di sini hari ini," cibir Riko dengan gigi
terkatup.
"Pak Adriel, maaf...
Kalvin bergegas maju dan berkata
dengan penuh penyesalan, "Keluarga Juwana-ku... "
"Sudah, sudah. Jangan menangis
dengan wajah sedih begitu. Aku masih suka dengan sikap memberontakmu dulu. Kamu
sudah pulih."
Adriel melambaikan tangannya seraya
berkata dengan ekspresi tidak puas.
Kalvin tidak tahu apakah harus
tertawa atau menangis. Sudah berapa lama waktu berlalu dan Adriel masih begitu
tenang?
Adriel tidak memedulikan hal itu. Dia
hanya membuang muka dan menghela napas lega ketika dia tidak melihat keberadaan
Ana dan Aurel di sekelilingnya.
Tampaknya mereka sudah diantar
kembali ke Kota Silas. Dengan adanya Wendy sebagai orang yang bertanggung jawab
atas Kota Silas, dia merasa tidak perlu khawatir lagi.
Lalu Adriel menggerakkan tubuhnya,
menatap semua orang sambil tersenyum dan berkata, "Maaf, aku harus
pergi."
"Baik."
Riko mencibir sambil mengangguk. Dia
menatap Elin dan berkata, "Nona Elin, dia sangat terburu - buru sekali.
Apa kamu bisa mengantarnya pergi sekarang?"
"Riko, kamu pikir kamu ini
siapa? Tutup mulutmu! Memangnya kamu layak menyuruhku melakukan sesuatu?"
Elin menatap Riko dengan sinis. Elin
memiliki kepribadian yang sombong dan tidak menganggap Riko sebagai menantunya
yang berharga.
Perkataannya juga sangat kasar dan
membuat wajah Riko menjadi pucat.
Sudut mulut Riko terangkat. Dia
menahan amarahnya sambil menjawab, "Kalau kamu nggak bertindak, aku yang
akan bertindak."
"Pergi dari sini, ini belum
giliranmu!"
Elin tampak dingin. Dia maju ke depan
sambil menatap Adriel dengan sinis dan berkata, "Adriel, maju dan ikut aku
kembali ke kediaman keluarga Forez untuk diadili! Kalau kamu membuat anakku
mati dengan jasad yang nggak utuh. Aku juga nggak akan membiarkanmu mati dengan
mudah!"
Adriel masih harus kembali ke
kediaman keluarga Forez untuk diadili?
Riko sedikit terkejut dan tidak
senang. Jika demikian, maka Adriel harus hidup lebih lama, tetapi sulit baginya
untuk ikut campur.
Namun, hasilnya tidak akan ada
perbedaan apa pun.
Adriel tetap akan mati.
"Nggak mau pergi."
Adriel tersenyum sambil menjawab dan
menggelengkan kepalanya.
Sorot mata Elin menjadi dingin.
Energi sejati di tubuhnya secara bertahap mulai beredar, lalu aura seorang
master puncak kelas delapan mulai melonjak.
Elin dianggap sebagai orang terkuat
di sini dan memiliki alasan paling besar untuk mengambil tindakan terhadap
Adriel. Tentu saja, orang lain tidak akan berani ikut campur.
No comments: