Bab 1343
Saat ini, Adriel menarik seseorang
dengan acak untuk menanyakan lokasi Gudang Harta, kemudian berjalan dengan
langkah besar.
Gudang Harta adalah bangunan bertipe
menara klasik yang ramai dikunjungi orang.
Begitu masuk ke lantai pertama,
Adriel mendapati ruangan yang luas, penuh dengan deretan stan. Di atas
meja-meja itu tertata berbagai jenis bahan obat, bahkan beberapa yang dianggap
cukup langka oleh Adriel.
Setiap murid di Akademi Arjuna bisa
melakukan transaksi di sini dan banyak bahan obat yang tidak dapat ditemukan di
luar. Semua transaksi di sini menggunakan kredit akademi.
Sebagai dorongan agar murid-murid
bersaing lebih giat demi mendapatkan lebih banyak kredit.
"Leo!"
Saat itu, Wennie melambaikan tangan
dengan gembira dari aula, memberi isyarat agar Adriel mendekat.
"Kakak senior Wennie."
Adriel tersenyum, sambil sedikit
mengubah sapaannya. Dia bertanya, "Apa kamu menemukan bahan obat yang
bagus?"
Wennie menarik tangan Adriel masuk
lebih dalam dan menjawab dengan senang, "Pernah dengar soal pohon
petir?"
Ketika itu, Wennie terlihat antusias.
Dia menjelaskan, "Pohon petir bisa menyerap kekuatan petir yang keras,
bisa digunakan untuk membuat senjata penangkal roh jahat. Tapi, pohon ini
asalnya dari pohon korma berusia ribuan tahun yang sudah lama nggak
berbuah."
"Siapa sangka setelah dihantam
petir, pohon itu malah hidup lagi, kembali berbunga dan berbuah. Buahnya
disebut sebagai korma petir."
Adriel menggaruk kepalanya. Dia
membalas, "Pasti itu menghabiskan banyak kredit, 'kan?"
Korma petir ini sangat berharga dan
akan sangat berguna untuknya, tetapi sangat langka.
"Ah, itu sih urusan kecil.
Barang ini kan sangat langka dan berharga. Kalau bukan karena kenalan, aku
nggak akan bisa mendapatkannya."
Wennie tersenyum santai sambil
menarik Adriel ke sebuah stan. Di sana, sebuah korma petir berwarna merah tua
ditempatkan dalam kotak batu alam merah yang terbuka, membuat orang-orang di
sekitarnya melihat dengan iri.
Di dekat mereka, berdiri seorang pria
berumur dua puluhan dengan penampilan gagah. Dia berkata pelan, "Ini sudah
disiapkan untuk adik junior Wennie, nggak dijual."
Orang-orang yang mendengar hanya bisa
melongo.
"Ini adalah Ivan Dumin, Kak
Ivan."
Wennie memperkenalkannya pada Adriel,
tetapi satu hal yang paling diingat oleh Adriel adalah bahwa dia berasal dari
keluarga Dumin di wilayah utara Srijaya.
Hal itu membuat Adriel menatap Ivan
beberapa kali.
"Terima kasih, Kak Ivan,"
ucap Wennie dengan sopan. Korma petir ini sangat langka, dijual ke dirinya
jelas menunjukkan penghargaan besar.
Ivan hanya mengangguk pelan, terlihat
cukup angkuh. Dia berkata, "Ah, nggak usah sungkan, adik junior Wennie.
Ini cuma satu buah saja. Kebetulan sepupuku nggak membutuhkannya, jadi aku bawa
ke sini. Kalau kamu butuh, tentu aku bisa kasih."
Ucapannya itu membuat orang-orang
makin iri.
Sepupunya Ivan adalah salah satu
putra tunggal keluarga Dumin, Dilan.
Barang berharga seperti ini, banyak
yang memimpikan memilikinya, tetapi ini adalah sisa - sisa yang digunakan orang
lain.
"Tuh, lihat itu. Anak ini datang
akademi atau sekadar ikut numpang hidup enak saja? Dan numpang hidup enaknya
ini sungguh mewah, ya... "
Sebuah suara dari kerumunan muncul,
ternyata itu Dastan. Dia melihat Adriel dengan cemburu.
Dia mendengar bahwa Wennie akan
memberikan hadiah kepada Adriel di mata air abadi. Dia ingin melihat apa yang
akan dibeli Wennie sebagai hadiah dan melihat posisi Adriel di hati Wennie,
sehingga dia bisa melaporkannya kepada kakaknya.
Siapa sangka Wennie yang tidak punya
banyak kredit, langsung membeli korma petir untuk Adriel.
Perkataan Dastan itu membuat semua
orang tertegun, lalu mereka menatap Adriel dengan penuh rasa ingin tahu.
Apakah korma petir ini untuk Adriel?
"Numpang hidup enak, ya?"
"Wah, bisa-bisanya dia numpang
hidup enak dari Wennie. Padahal Wennie sendiri nggak banyak punya kredit,
bahkan buat berlatih saja kurang, tapi Adriel masih saja manfaatin dia."
Di tengah tatapan semua orang, Wennie
merasa khawatir kalau Adriel akan malu. Wennie berujar, " Adik junior Leo,
kamu ... "
Namun, Adriel hanya tersenyum dan
berkata, " Tenang saja, aku nggak seribet itu."
No comments: