Bab 1348
Akademi ini terlalu besar, melarikan
diri jelas bukan pilihan bagi Ivan. Satu-satunya yang bisa menyelamatkannya
hanyalah Dilan, saudara sepupunya dari keluarga Dumin.
Namun, tepat saat itu, dia merasakan
serangan energi sejati yang kuat dari belakang, mengarah langsung ke
punggungnya.
Ivan segera mengelak, nyaris lolos.
Namun, ketika dia hendak lari lagi, dia mendapati Adriel berdiri di depannya
dengan senyum tipis di wajahnya.
"Leo, kau benar-benar cari
mati!"
Ivan melotot penuh kebencian melihat
Adriel.
Dia sudah merencanakan segalanya
dengan matang.
Andai bukan karena Adriel, dia pasti
akan menerima penghargaan besar dari keluarga.
Sekarang, semuanya hancur, dan dia
malah menjadi buronan!
"Kenapa buru-buru? Kamu ini
murid Akademi Arjuna dan anggota keluarga Dumin. Harusnya kamu punya sikap yang
lebih berkelas," kata Adriel dengan nada santai.
"Pergi kamu, atau ... "
Ivan sudah sangat terdesak.
"Oh ya, kalau aku membunuhmu,
apa poin akademimu akan jadi milikku?" tanya Adriel dengan santai.
"Dasar sok jago! Kamu pikir kamu
bisa mengalahkanku? Jangan lupa, Wafa hanya mengalah padamu karena menghormati
keluarga Buana. Apa kamu pikir aku nggak punya rahasia lain selain korma petir
ini?" bentak Ivan.
Saat itu juga, Ivan mengeluarkan
sebuah tasbih tulang dari tulang manusia dari pergelangan tangannya.
Begitu tasbih tulang itu muncul, hawa
dingin menyelimuti udara, membuat semua orang merasa seolah-olah tubuh mereka
membeku. Dari tasbih itu terdengar suara rintihan pilu, seakan-akan berisi
ratusan roh yang terperangkap di dalamnya.
Wennie dan Dastan akhirnya tiba dan
melihat pemandangan itu.
"Sialan! Tasbih dari aliran
sesat? Dari mana dia dapat benda terkutuk ini?"
Dastan terkejut, nyaris ingin kabur,
tetapi dia masih punya sedikit keberanian untuk memperingatkan Adriel.
"Benda ini bukan senjata biasa
dan siapa pun yang terkontaminasi bisa mengalami dampak buruk. Lebih baik
laporkan saja ke akademi."
Dastan merasa cukup percaya diri
untuk melawan tasbih itu, tetapi risiko yang mungkin muncul setelahnya tidak
sebanding dengan poin akademi yang bisa didapat.
Adriel hanya mengangguk santai.
"Oh, begitu?"
"Kamu cari mati!" teriak
Ivan marah.
Melihat Adriel tetap tidak mau
minggir, dia menekan kedua tangannya pada tasbih tulang itu.
Suara rintihan yang keluar dari
tasbih tulang itu semakin menusuk, seperti ratusan jiwa terperangkap di
dalamnya.
"Gila!" seru Dastan sambil
menahan diri untuk kabur.
Namun, melihat Adriel dan Wennie yang
masih berdiri tegak, dia akhirnya menguatkan hatinya.
"Ayo, kalau Leo nggak kabur, aku
juga nggak akan kabur! Paling buruk, nanti aku tinggal minta kakakku untuk urus
masalah ini!"
"Biar aku saja!"
Wennie maju dan berdiri di samping
Adriel, auranya memancarkan hawa dingin yang tajam.
Ivan mungkin hanya Guru Bumi tingkat
satu, tetapi tasbih tulang ini jelas bukan benda biasa yang bisa diukur dengan
kekuatan tingkat saja.
Ivan menggertakkan giginya, merasa
sangat enggan. "Ini pusaka keluarga! Seharusnya aku nggak perlu pakai
benda ini pada kalian... "
Tasbih itu sebenarnya milik Dilan,
dipinjamkan untuk berjaga-jaga, bukan untuk masalah kecil seperti ini.
Namun, ketika dia melihat Wennie dan
Dastan bersiap dengan sangat waspada, dia menyadari bahwa Adriel justru tampak
sangat tenang, bahkan tidak menunjukkan ketakutan sama sekali.
Dia malah menatap tasbih itu dengan
tatapan penuh rasa ingin tahu.
Ivan pun marah. "Dasar bocah,
lekas minggir! Kamu mau aku turun tangan juga?" ujarnya.
Wennie yang sudah mulai khawatir
berbisik, "Hati- hati, tahan saja."
Dastan, melihat wajah Adriel yang
begitu tenang, sontak berteriak, "Ini bukan waktunya untuk bergaya!"
Namun, sebelum mereka bisa berkata
lebih lanjut, Adriel sudah melangkah maju.
Dia menatap tasbih itu dan berkata,
"Tasbih ini menarik juga. Mulai sekarang, ini milikku."
Adriel merasa bahwa tasbih ini
sangatlah istimewa. Kalau keluarga Dumin tahu akan kehebatannya, maka tasbih
itu tidak akan jatuh ke tangan Ivan.
Mendengar klaim itu, Ivan meluapkan
amarahnya. " Kamu benar-benar keras kepala, ya!"
No comments: