Bab 1378
Di dalam kantor kepala akademi,
suasana terasa cukup tegang.
Daniel duduk di belakang meja kerja
mendengarkan dengan tenang saat Ron menjelaskan semua peristiwa yang terjadi.
Sementara itu, Agus tampak tidak begitu peduli. Dia meraih sebuah foto dari
antara banyak medali dan buku di rak, lalu mengusapnya dengan lembut.
Adriel juga hanya berdiri
memperhatikan.
Di dalam foto, Daniel terlihat
berusia sekitar 60 tahun, mengenakan seragam militer tingkat Dewa Perang dengan
tangan bersedekap dan kepala sedikit menoleh, memperlihatkan ekspresi tak
senang.
Di sampingnya adalah sosok ayah
Adriel.
Di bawah kaki mereka tergeletak jasad
pasukan prastya yang mengenakan pakaian tempur tradisional.
Dengan seragam militer yang robek dan
wajah berlumuran darah, ayah Adriel memeluk pundak Daniel yang tampak
ogah-ogahan.
Dia terlihat berusia sekitar dua
puluhan. Dengan gigi putih yang tampak jelas karena senyumnya yang lebar, penuh
semangat dan percaya diri.
Adriel menatap senyum ayahnya yang
begitu dikenalnya dan sejenak terpaku, sampai tiba-tiba terdengar suara tak
puas yang membuyarkan lamunannya.
"Leo, apa benar yang dikatakan
Ron?"
Adriel tersadar dan melihat wajah tua
Daniel yang sedang menatapnya dengan alis sedikit berkerut
"Apa yang benar?" Adriel
terdiam sejenak, lalu menjawab dengan santai, "Ya, aku yang bunuh Aska,
tapi aku nggak bunuh Ivan. Kalau mau, aku bisa bantu mengidentifikasi
pelakunya."
Mendengar hal ini, wajah Daniel
langsung menggelap.
"Kalau bukan kamu, lalu siapa?
Jangan-jangan kamu bilang Kepala Akademi yang melakukannya!" bentak Ron
dengan marah sambil menepuk meja.
Daniel berdeham, "Bicara sesuai
fakta, jangan sembarangan menuduh. Apa hubungannya ini dengan aku?"
Saat itu, Agus juga meletakkan
kembali fotonya, lalu menatap Ron sambil berkata datar, "Siapa pun yang
berani menuduh Kepala Akademi akan kubunuh."
Ron berkedip menahan emosi dan
berkata, "Soal Ivan kita abaikan dulu, tapi Leo membunuh Aska. Semua orang
melihatnya dengan jelas!"
"Pak Daniel, kalau kamu sudah
serahkan urusan akademi untuk aku kelola, maka percayalah pada aku dan berikan
aku wewenang. Jika untuk masalah sekecil ini saja aku nggak punya hak untuk
memutuskan, buat apa aku menjadi wakil kepala akademi?" kata Ron.
Perkataan Ron mengandung nada tidak
puas dan penuh tekad, tatapannya serius mengarah pada Daniel.
Daniel menghela napas dengan sedikit
kesal, sambil melirik Adriel dengan tidak senang
Sebenarnya dia sudah membereskan
urusan Adriel, tapi Adriel malah membuat masalah lagi dan membunuh orang.
Itu membuatnya merasa Adriel sangat
tidak sopan. Kemudian dia berkata kepada Ron, "Bagaimana kamu ingin
menanganinya?"
"Lakukan saja sesuai aturan
akademi, tahan dia sementara," jawab Ron dengan mata berbinar.
"Ini..."
Tahanan sementara bukan hukuman yang
berat, bahkan Leony sering keluar masuk ruang tahanan sesekali.
Bagaimanapun, Ron adalah wakil kepala
akademi, jadi Daniel memutuskan memberinya sedikit penghormatan.
Saat itu, Daniel menerima panggilan
telepon. Setelah melihat siapa yang menelepon, dia melambaikan tangan dan
berkata, "Kalian bicarakan saja dulu, nanti laporkan ke aku. Aku harus
angkat telepon."
Melihat ekspresi wajah Daniel, Ron
merasa hal ini sudah memiliki keputusan. Dia pun bangkit dan pergi.
Adriel tak terburu-buru, hanya
melirik foto tadi sebentar, lalu berjalan keluar.
"Legan mau membela dia?"
gumam Agus dengan tak puas. "Leo terlalu manja, dia perlu diajari sedikit.
"Jangan-jangan Leo ini memang
anak rahasia Legan? Aku harus bicara baik-baik dengannya
Daniel menghela napas dan mengangkat
telepon derigan pasrah.
Dari seberang terdengar suara Legan
yang tenang, Kamu mau menghukum Leo?"
"Kali ini kamu nggak boleh ikut
campur. Anak itu sudah kelewat batas!" dengus Daniel.
"Kalau begitu, bunuh saja
dia."
"Apa?" tanya Daniel dengan
terkejut.
"Tentu saja, bunuh saja. Orang
tuanya dibunuh oleh kelompok Enam Jalur Puncak Kematian, dan kalian diam saja
bahkan nggak peduli," kata Legan.
"Waktu dia dalam bahaya di
Sagheru, kalian juga diam saja. Sekarang dia jadi sasaran dan kalian tetap diam
saja. Sekalian saja bunuh dia, kirim dia agar bisa reuni dengan orangtuanya di
sana," lanjut Legan.
"Hidup di Akademi Arjuna, di
bawah pengawasan kalian tapi masih saja diperlakukan seperti ini oleh seorang
wakil kepala akademi. Kalau hidup lebih menyiksa dari mati, untuk apa
hidup?" lanjut Legan lagi.
Kata-kata itu membuat Daniel terpana
dan tidak sanggup bicara untuk beberapa saat,
Agus yang merasa aneh melihatnya
diam, menatapnya dan bertanya, "Apa yang dikatakan Legan?"
No comments: