Bab 1437
"Wafa?" Delvin terlihat
terkejut, lalu buru-buru bertanya, "Lalu Adriel? Di mana dia?"
"Adriel beda harga... "
balas Daniel sambil tersenyum samar, tapi matanya penuh sindiran." Suruh
Nyonya Freya telepon aku. Aku ingin bicara langsung dengannya."
"Nyonya Freya?"
Delvin terperangah, lalu berseru,
"Pak Daniel, bukankah ini terlalu berlebihan? Hal kecil seperti ini,
kenapa harus melibatkan Nyonya Freya?"
Daniel tersenyum tenang dan membalas,
"Hmm, kalau kamu merasa begitu, ya sudah, lupakan saja.'
Sambil bicara, dia mengangkat kembali
lencana itu, memperlihatkannya pada Delvin.
"Jangan, jangan!"
Delvin langsung panik, buru-buru
mengambil lencana itu dan menyerahkannya kembali pada Daniel sambil memaksakan
senyum. "Pak Daniel, aku hanya bercanda tadi. Lencana ini tetap milikmu.
Aku akan mempersiapkan semuanya dan berangkat hari ini juga."
Setelah berkata demikian, Delvin
tampak takut kalau Daniel berubah pikiran, dan segera pergi tergesa-gesa.
Begitu Delvin keluar, Adriel muncul
dari tempat persembunyiannya sambil menghela napas pelan. " Pak Daniel,
kamu terlalu murah hati tadi. Harusnya kamu minta harga tinggi sekalian."
"Kamu tahu sesuatu yang aku
nggak tahu?" tanya Dantel sambil melirik Adriel dengan penasaran.
Adriel tersenyum kecil sambil
membalas, "Pak Daniel, bisakah kamu menjaga rahasia?"
"Tentu saja," jawab Daniel
tegas.
"Aku juga bisa," ujar
Adriel sambil tersenyum lebar.
"Itu kalimatku!" pikir
Daniel dalam hati.
Dia terdiam, merasa ditikam oleh
kata-katanya sendiri.
Adriel tidak benar-benar bermaksud
menyembunyikan sesuatu, tetapi dia memang tidak punya cara untuk menjelaskan.
Identitas Wafa adalah rahasia besar
dan dia harus memanfaatkannya untuk menggali lebih banyak informasi tentang orang-orang
dari Enam Jalur Puncak Kematian.
Seperti yang dikatakan Daniel
sebelumnya, semakin sedikit orang yang tahu rahasia, semakin baik.
Daniel mendesah dengan wajah kesal.
"Jadi, ini balasan karena aku nggak memberitahumu soal Kitab Tentara Agung
sebelumnya..." ujarnya.
Sebelumnya, saat Adriel menanyakan
rahasia Kitab Tentara Agung, Daniel menggunakan kalimat yang sama untuk
menolaknya.
"Aku merahasiakannya waktu itu
karena aku khawatir kamu belum cukup kuat untuk mengetahuinya. Tapi sekarang,
aku rasa sudah waktunya aku memberitahumu..."
Daniel melanjutkan dengan nada
serius, "Kitab Tentara Agung memiliki sebuah metode yang dapat membuat
ayahmu hidup kembali, meski sebagai senjata tingkat dewata."
"Kitab Tentara Agung ini dulu
diperebutkan banyak pihak. Saat gagal mencapai kesepakatan, mereka memutuskan
untuk mempercayakannya padaku karena reputasiku yang baik. Tapi pada
kenyataannya, aku sendiri pun nggak bisa membukanya."
Setelah berkata demikian, dia
mengeluarkan papan giok itu, meletakkannya di hadapan Adriel. "Mulai
sekarang, benda ini aku serahkan padamu."
"Serahkan padaku?" Adriel
tercengang. Kitab Tentara Agung ini sangat penting hingga Daniel pernah
menyembunyikannya di dalam tubuhnya. Kini, dia menyerahkannya begitu saja?
Daniel tersenyum tenang. "Kamu
nggak terpikir, ' kan? Kalau kamu saja nggak terpikir, pihak lain di Srijaya
juga akan sama."
Adriel tampak bingung. "Apakah
ini untuk mencegah mereka merebutnya? Bukankah mereka yang menyerahkan benda
ini padamu untuk dijaga?"
Dia pernah mendengar Agus menyebutkan
soal ini ketika sedang memulihkan diri.
"Itu hanya alasan yang
dibuat-buat," balas Daniel sambil mendengus. "Kitab Tentara Agung ini
awalnya aku yang bawa ke Srijaya."
"Semua kekuatan di Srijaya
merasa benda ini harus jadi milik mereka, tapi saat mencoba merebutnya, mereka
gagal. Karena nggak bisa membukanya, mereka pura-pura menyerahkannya padaku
untuk dijaga."
"Sekarang Marlon mengincar benda
ini, kemungkinan akan ada lebih banyak pihak lain yang juga menginginkannya.
Tapi mereka pasti nggak akan menyangka aku sudah menyerahkannya padamu."
Adriel berpikir sejenak, lalu tanpa
banyak basa-basi, dia menerima papan itu.
Lagi pula, orang lain tidak bisa
membukanya, belum tentu dirinya tidak bisa. Karena guru Adriel adalah sahabat
karib Tentara Agung.
Di saat itu, ponsel Daniel berdering.
"Nyonya Freya telepon ... "
gumam Adriel membaca nama di layar dan menjadi penasaran dengan wanita yang
merupakan istri gurunya ini. Dia ingin mendengarkan percakapan itu.
Daniel hanya tersenyum kecil, lalu
menerima panggilan dan mengaktifkan mode pengeras suara. " Nyonya Freya
... " sapa Daniel.
Dari seberang telepon, terdengar
suara dingin dan tegas tanpa basa-basi, "Aku berutang budi padamu. Biarkan
Adriel ikut serta dalam Kompetisi Bela Diri."
Daniel yang tadinya berniat menawar
langsung terlihat gembira mendengar ini. "Kalau begitu, aku serahkan utang
budimu ini pada Adriel."
No comments: