Bab 1461
Delvin bersujud berulang kali,
dahinya membentur lantai dengan suara nyaring.
Namun, Luiz hanya berkata dengan
datar, " Sampaikan ke keluargamu, kamu akan pergi dinas ke luar
kota."
Dinas keluar kota? Untuk menebus
dosa?
Delvin hampir saja menangis bahagia.
Kalau hanya itu hukumannya, setidaknya nyawanya selamat!
Dia langsung bergegas keluar,
meminjam ponsel dari orang di luar, lalu kembali menutup pintu. Di depan Luiz,
dia dengan patuh menelepon keluarganya satu per satu, melaporkan "tugas
dinas "-nya.
Selesai menelepon, dia kembali
bertanya dengan hati-hati, "Boleh tahu aku akan dikirim ke mana?"
Luiz menatapnya sekilas, lalu
menjawab dengan santai, "Ke neraka."
Plak!
Sebelum Delvin bisa merespons, sebuah
tamparan melayang. Tubuhnya bergetar hebat, darah mengalir dari tujuh lubang di
wajahnya.
Hingga saat napas terakhirnya, mata
Delvin masih dipenuhi ketakutan bercampur kebingungan.
Luiz kemudian mengeluarkan sebuah
botol kecil dari sakunya. Saat tutupnya dibuka, terdengar suara mendesis samar.
Ini bukan pertama kalinya dia
melakukan hal seperti ini. Sebagai Penjaga Malam, kebiasaan untuk menyelesaikan
segalanya tanpa jejak sudah mendarah daging.
Adriel, yang sejak tadi hanya
mengamati, menghela napas. Dia berkata, "Pakai punyaku saja. Kalau soal
hilangkan jejak, aku lebih ahli."
Sambil berbicara, Adriel mengeluarkan
botol lain dan menaburkan isinya di atas tubuh Delvin.
Dalam hitungan detik, tubuh itu larut
menjadi asap tipis, meninggalkan tempat itu bersih seperti tidak pernah ada
apa-apa.
Melihat reaksi Luiz yang memandang
botol itu seperti petani menemukan alat favoritnya, Adriel hanya tersenyum
kecil.
Dia mengeluarkan beberapa botol
tambahan dan menyerahkannya sambil berkata, "Ambil saja. Aku punya
banyak."
"Terima kasih," jawab Luiz
sambil tersenyum puas. Namun, ekspresinya kembali serius saat dia berkata
dengan tenang, "Harap rahasiakan apa yang terjadi hari ini."
Apa yang akan terjadi jika Adriel
tidak merahasiakannya, Luiz tidak mengatakan, tapi peringatannya cukup jelas.
Sementara itu, Harriet, yang sejak
tadi hanya menonton, tiba-tiba menepuk bahu Adriel dengan gaya kakak senior
yang penuh percaya diri.
"Mulai sekarang, dia ada di
bawah perlindunganku! Dia ini adikku sekarang!"
Adriel hanya bisa menahan tawa.
Luiz terkejut sesaat mendengar
pernyataan itu, lalu tersenyum lebih ramah. Kali ini, ada rasa akrab dalam
senyumnya. Dia berkata, "Kalau begitu, kita rekan kerja mulai sekarang.
Saling menjaga, ya."
Lalu, dia berbalik ke arah Harriet
sambil berkata, " Nona, waktunya pulang."
"Pulang buat apa? Kamu pulang
dulu saja," balas Harriet sambil mengibaskan tangan dengan malas.
Luiz terlihat sedikit bingung.
Si pelayan mencoba membujuk dengan
hati-hati, " Tapi, Nona ... "
Harriet sudah terlihat kesal.
"Kamu juga pergi. Jangan ganggu aku."
Luiz akhirnya menyerah. Sepertinya,
dia benar- benar tidak bisa melawan kehendak gadis ini. Dengan pelayan yang
menunduk hormat, Luiz pun pergi meninggalkan ruangan.
Kini, hanya Harriet dan Adriel yang
tersisa. Suasana mendadak sunyi.
Harriet berdiri dengan tangan di
belakang, dagu sedikit terangkat. Matanya berkilauan, seolah sedang menunggu
sesuatu.
Adriel tersenyum kecil. Dia sudah
tahu apa yang diharapkan gadis itu.
Oh, gaya ini. Setelah unjuk kekuatan,
pasti ingin ada yang memuji. Lalu, dia akan berpura-pura merendah, tetapi
dengan gaya pahlawan.
Ini baru namanya pamer yang sempurna.
Gadis itu sudah menunggu Adriel
memuji.
Sebagai raja pamer di Kota Silas,
Adriel sangat mengenali pola ini. Yang tidak pernah dia duga adalah bahwa suatu
hari dia akan menjadi pihak yang harus memuji!
Maka, dengan ekspresi yang
dibuat-buat penuh kekaguman, dia bertanya, "Siapa kamu sebenarnya? Kenapa
bisa sehebat ini?"
Harriet menahan senyum. Matanya
melompat- lompat gembira, tetapi dia mencoba terlihat tenang. Dengan gaya sok
tua, dia melambaikan tangan dan berkata, "Anak muda, jangan tanya
macam-macam. Tahu terlalu banyak nggak bagus buatmu."
Adriel langsung menunjukkan rasa
terima kasihnya, "Terima kasih, Nona Harriet, sudah menyelamatkan nyawaku
hari ini. Kalau nggak, keluargaku pasti sudah habis dibantai!"
Gadis itu jelas sangat senang. Dia
tersenyum lebar sampai dua gigi taring kecilnya terlihat. Namun, dia tetap
berusaha menjaga wajah serius, lalu batuk pelan untuk menahan tawa. Dia
berkata, "Ah, ini cuma hal kecil. Nggak perlu berterima kasih."
Dia melanjutkan, "Dalam hidup,
yang terpenting adalah membantu orang saat mereka dalam kesulitan. Kamu ingat
itu."
"Tapi kamu nggak akan selalu
beruntung. Lain kali, lebih hati-hati, ya," nasihatnya.
Adriel mengangguk dan berkata,
"Aku paham. Terima kasih atas nasihatnya."
Harriet mendengar itu semua sambil
menahan tawa. Namun, matanya melengkung ceria, penuh kepuasan. Hari ini
benar-benar hari yang menyenangkan!
No comments: