Bab 1462
"Siapa sebenarnya kamu
ini?" tanya Adriel sambil menatap Harriet dengan penasaran.
Harriet memikirkannya sejenak, lalu
menggelengkan kepala sambil menjawab, "Kalau kamu bisa memenangkan
Kompetisi Bela Diri nanti, mungkin kamu akan tahu siapa aku sebenarnya."
Mungkin?
Bahkan setelah memenangkan kompetisi,
yang berhadiahkan gadis istimewa seperti Yoana, belum tentu Adriel bisa tahu
identitas Harriet?
"Kamu adikku! Aku percaya kamu
bisa! Jangan bikin aku malu, ya!" ujar Harriet sambil mengangkat kepalan
tangannya dengan penuh semangat, wajahnya serius.
Melihat ekspresi seriusnya, Adriel
hanya bisa menahan tawa dan mengangguk.
Dalam hati, dia berpikir,
"Adik-adikku juga pasti suka punya kakak secantik ini."
Saat itu, dari luar terdengar suara
batuk pelan.
Harriet tampak sedikit kecewa. Dia
berkata, " Sepertinya aku benar-benar harus pergi."
Sebelum melangkah pergi, dia merogoh
sakunya dan mengeluarkan sebuah giok kecil, lalu berkata, " Ini tanda
pengenalku. Kalau nanti ada yang berani macam-macam sama kamu, tunjukkan ini
buat menakuti mereka."
Dia menambahkan dengan nada bercanda,
"Tapi, kalau musuhnya cuma kacung biasa, ini nggak berguna!
Ngomong-ngomong, apa ada lagi yang bisa kubantu? Sebagai kakakmu, aku harus
siap sedia!"
Harriet menatap Adriel penuh harap,
seolah-olah mencari kesempatan lain untuk unjuk gigi.
Adriel memegang giok itu sambil
tersenyum geli. Dia hanya menggelengkan kepala tanpa berkata apa -apa, lalu
mengantar Harriet pergi.
Meski dia tahu, satu kata dari
Harriet saja mungkin bisa membuat nama Wennie dicoret dari daftar hadiah kompetisi,
Adriel tidak berniat memanfaatkan itu.
Baginya, itu tidak ada gunanya.
Dia ingin semua orang tahu bahwa
calon suami Wennie adalah pria yang kuat, seseorang yang berhasil memenangkan
kompetisi secara adil dan terbuka.
Di sisi lain, Harriet sudah duduk di
dalam mobil yang membawanya menuju sebuah kediaman yang dijaga ketat.
Mobil itu langsung masuk ke dalam
kompleks, berhenti di depan sebuah taman yang indah. Luiz membuka pintu
untuknya dan Harriet keluar.
Di kejauhan, sebuah rumah kecil dua
lantai terlihat, tampak biasa saja, tetapi cahaya lampu yang menyala di
dalamnya menunjukkan bahwa seseorang sedang menunggunya.
Harriet merasakan kehangatan di
hatinya. Dia melangkah masuk ke rumah itu.
"Ibu, aku pulang!"
teriaknya.
Di luar, dia memanggilnya
"Bibi", tetapi di rumah, panggilannya berubah menjadi
"Ibu". Itu sudah menjadi aturan sejak kecil. Ibunya merasa tidak
perlu semua orang tahu bahwa dia memiliki seorang putri.
Di atas meja, hidangan sudah tertata
rapi. Namun, seorang wanita anggun tengah duduk di meja kerja, memegang kuas
dan menulis sesuatu.
Dia bahkan tidak menoleh.
Luiz, yang berdiri di dekat pintu,
memberi isyarat kepada Harriet dengan matanya.
Harriet mengerucutkan bibir dan
menjulurkan lidah. Lalu, dia melangkah maju dengan patuh. Dia duduk di samping
ibunya, membantu menggiling tinta sambil melirik penasaran ke arah tulisan
ibunya.
"Angin badai membawa malapetaka,
cinta hanya menyisakan luka. Hati penuh duka, bertahun-tahun terpisah ...
"
Harriet mendengus dan menggerutu,
"Ibu, lagi memikirkan Ayah, ya? Sudah bertahun-tahun, kenapa masih saja
dibahas?"
Namun, wanita itu tetap diam, hanya
fokus menulis dengan tenang. Di bawah sinar lampu, wajahnya tampak anggun dan
tenang, memancarkan pesona yang lembut. Dia tampak seperti seorang wanita
terpelajar, bukan seseorang dengan latar belakang rumit.
Harriet menghela napas panjang, lalu
berkata, " Puisi ini juga bukan sesuatu yang bagus. Kalau cinta hanya
menyisakan luka, kenapa Ibu masih tinggal dalam angin badai? Bukannya Ayah yang
meninggalkan kita?"
Harriet sebenarnya tidak tahu banyak
tentang masa lalu orang tuanya, tetapi dari namanya saja, dia bisa menduga
bahwa kisah cinta antara kedua orang tuanya pasti sangat rumit.
Luiz berdiri tegak di sudut ruangan,
seperti patung, seolah tidak mendengar apa-apa.
Namun, ibunya tetap tidak merespons.
Harriet hanya bisa mendengus lagi, lalu kembali menggiling tinta dengan patuh.
Sambil melakukannya, pikirannya melayang ke kejadian di siang hari.
Adriel. Pembunuhan. Adik. Lalu, dia
kembali mengingat momen saat dia berhasil memamerkan kekuatannya.
No comments: