Bab 57
Cakra bersandar malas di kursi, agak
bersedih.
Cakra menjawab, "Aku juga nggak
tahu."
"Serius, deh. Bukan kamu yang
diam-diam langsung mengajarinya?"
"Katanya belajar sendiri."
Zovan sangat terkejut. "Serius?
Ada yang bisa belajar sendiri? Sejak kamu terkenal dengan Kombinasi Dua Belas
Serangan, sudah banyak orang mencoba belajar dan nggak ada yang berhasil."
Siapa pun yang pernah bermain sebagai
penembak pasti tahu sulitnya mempelajari Kombinasi Dua Belas Serangan dari King
Master!
Bukan hanya membutuhkan bakat, otak
pun diperlukan.
Di luar pendampingan langsung dari
King Master, nyaris tidak ada yang memperoleh perlakuan seperti itu.
Jadi, hampir tidak ada yang bisa
belajar sendiri.
Nindi adalah orang pertama!
Hingga kini, semua orang di dunia gim
masih menebak-nebak hubungan Nindi dengan King Master.
Jemari panjang milik Cakra terlihat
mengetuk-ngetuk meja sambil bicara, "Tapi, dia begitu pintar dan memang
berbakat."
Di masa depan, Nindi bisa melangkah
lebih jauh daripada Cakra.
Saat Nindi sudah pulang sekolah dan
tiba di gerbang sekolah, Pak Sopir sudah menunggu penuh hormat seraya berdiri
di luar mobil.
Nindi menoleh ke arah ruang UKS
sejenak, lalu membungkuk dan naik ke mobil.
Tiba di rumah keluarga Lesmana, Nindi
mengamati tempat ini dengan perasaan yang agak asing.
Di kehidupan sebelumnya, Nindi
menganggap tempat ini sangat penting.
Sekarang, Nindi malah merasa asing.
Nindi memasuki ruang tamu, mendapati
Nando tengah berdiri di sana. "Eh, kamu sudah pulang. Ayo, makan dulu. Aku
sudah minta tolong pengurus dapur untuk menyiapkan makanan kesukaanmu."
"Aku makan di kamar mulai
sekarang."
Usai bicara, Nindi langsung naik ke
lantai atas.
Nando melihat pengurus rumah.
"Siapkan seporsi makanan dan kirim ke atas!" serunya.
Pengurus rumah terlihat agak tidak
puas, sehingga dia menimpali, "Tuan Nando, Nona Besar tampaknya nggak
menyukai Sania. Kalau ini sampai tersebar, mereka bisa mengira Nona Besar yang
nggak kasih izin Sania makan bersama."
Sania buru-buru berkata, "Pak
Cahyo, jangan bicara begitu. Mungkin Kak Nindi ingin menghemat waktu, makanya
dia makan di kamar."
"Sania, kamu memang terlalu
baik."
Nando pun keheranan. "Sudahlah.
Kalau dia nggak mau makan bersama, biarkan saja. Selama kita nggak membicarakan
hal ini, siapa yang tahu seisi keluarga Lesmana dan segala kejadiannya?"
Pengurus rumah refleks terdiam, lalu
menampilkan senyuman cerah.
Sania makin panik usai memperhatikan
perubahan ekspresi Nando.
Sania tidak bisa kehilangan kebaikan
mereka terhadapnya.
Lantas, Sania terbatuk kecil dan
berkata, "Kak Nando, aku mau mencoba masak bubur herbal hari ini. Bantu
cicipi, ya. Mungkin nggak seenak yang dibuat Kak Nindi, tapi aku mau
usahakan."
Nando melihat ke arah bubur herbal
itu, hatinya seketika luluh pada Sania. "Kamu nggak perlu sampai begini,
lho."
"Nggak apa-apa, Kak Nando. Perutmu
sedang nggak baik, berarti harus dijaga baik-baik. Sebelum Kak Nindi marah, aku
akan telaten merawatmu."
Karena masih sakit, Sania kelihatan
agak pucat.
Nando tersenyum puas. "Selama
niatmu baik, itu sudah cukup."
Nando mencicipi bubur itu, rasanya
begitu jauh dari buatan Nindi.
Namun, Nando tetap memakannya
beberapa suap agar bisa lihat Sania berbangga hati.
Padahal, Nando membatin, 'Aku makin
rindu bubur buatan Nindi.
Sementara itu, di kamar tidur lantai
atas.
Setelah Nindi masuk, dia mendapati
barang-barang di ruangannya telah dipindahkan.
Nindi merasa tidak nyaman. Akan
tetapi, mengingat dirinya akan segera pindah, dia tidak terlalu memikirkannya.
"Nona Besar, makan malam sudah
siap."
Pengurus rumah membawa hidangan dan
tidak bisa menahan diri untuk berbicara, "Nona Besar, mohon maaf, Anda
sudah susah payah kembali, kenapa nggak makan bersama mereka? Kalau info ini
sampai terdengar, orang-orang akan mengira Anda nggak membiarkan Sania untuk
makan bersama."
Nindi menatap pengurus rumah di hadapannya
penuh kesal.
Dulu, pengurus rumah ini selalu
memihak Sania.
Bahkan, dia memperlakukan Sania bak
anak kandungnya.
Di kehidupan sebelumnya, Sania banyak
melakukan hal buruk di keluarga Lesmana dan pengurus rumah ini diam-diam selalu
membantu, berakhir dengan Nindi yang selalu terjebak.
Nindi mengangkat tangan, lalu
menjatuhkan piring di tangan si pengurus rumah. Mata bagai almon miliknya
dipenuhi sekilas amarah.
No comments: