Bab 64
Dengan ekspresi dingin,
Nando berkata, "Selama kamu dan aku diam, Kak Darren nggak akan
tahu."
Sania terlihat agak
canggung. "Tentu, tentu saja."
Sialnya, jika Nindi
tidak tinggal di keluarga Lesmana, Sania tidak bisa lagi bertindak sesuka hati.
Sementara itu.
Nindi kembali ke
apartemen.
Zovan kembali mengomel,
"Bagaimana, sih?
Kenapa mereka harus
minta maaf sekarang? Bisa -bisanya memaksamu juga untuk menerima?"
Awalnya, Zovan merasa,
kakak-kakak Nindi hanya pilih kasih sedikit.
Namun, hari ini, dia
menyadari bahwa ini bukan lagi pilih kasih, melainkan buta!
Nindi menuangkan segelas
air untuk Zovan. "Jangan marah, aku saja nggak marah."
"Kenapa bisa nggak
marah, deh?"
"Aku sudah biasa,
memang selalu begini."
Nindi bicara dengan
ekspresi yang sangat tenang.
Zovan mengelus dadanya.
"Sial, aku nggak tahan. Aku ke balkon sebentar, mau merokok dan
menenangkan diri."
Cakra mengeluarkan
nampan berisikan buah, jemari panjangnya terlihat jelas dan tegas.
Dia meletakkan nampan
itu di depan Nindi. "Makan lebih banyak vitamin untuk menutrişi
otakmu," ujar Cakra.
Nindi berkedip.
"Kenapa memarahiku?"
"Setelah ujian
beres, masih berencana untuk pulang?"
'Oh, ternyata dia
mendengar kalimat ini.'
Nindi memegang nampan
buahnya seraya menjawab, "Pulang untuk membereskan barangku."
Cakra duduk di sofa.
"Jangan bodoh!"
"Aku tahu. Aku
nggak akan mengalah atau kasih maaf sekalipun."
Nindi menatap tegas ke
arah Cakra.
Ujian berikutnya
berjalan lancar.
Nindi merasa begitu lega
setelah menyelesaikan ujian terakhir.
Dia sudah menahan
semuanya begitu lama. Akhirnya, sudah selesai juga!
Nindi keluar kelas
dengan suasana hati yang baik dan bertemu beberapa teman sekelas tengah
membahas ujian barusan, termasuk Sania.
Menangkap kehadiran
Nindi, Ketua Kelas pun berkata, "Bagaimana ujianmu? Dengar-dengar, ujian
bahasa nasional mungkin terpengaruh karena alat tulismu, tapi selama isinya
nggak masalah, seharusnya nggak akan ada pengurangan nilai."
Sania segera pura-pura
peduli dengan berkata, "Kak Nindi, nggak apa-apa kalau hasil ujiannya
nggak bagus."
Nindi menaikkan alisnya
sembari melirik. "Tapi, masih lebih baik ketimbang nilaimu!"
Sania terpaku sejenak.
"Kak Nindi, jangan marah."
"Marah juga masih
lebih baik daripada nilaimu!"
Ucapan Nindi langsung
mengenai sasaran.
Ketua Kelas tertegun
melihat Nindi karena sifat Nindi sehari-hari cenderung pasif. Meskipun beberapa
bulan terakhir Nindi mulai menunjukkan ketegasannya, dia jarang berbicara
seperti ini dengan orang lain.
Sepertinya, lidah Nindi
kian tajam setelah ujian.
Nindi berbalik dan
berjalan santai. Punggungnya pun terlihat rileks di tengah kerumunan!
Sania murka hingga
ekspresinya tidak mengenakkan!
'Apa-apaan dia!'
Sania menunjukkan
ekspresi kesal dan melihat Ketua Kelas sembari berkata, "Tadi, aku cuma
ingin peduli padanya."
Ketua Kelas juga tidak
sungkan lagi saat membalas, "Hanya kamu yang tahu bahwa kamu memang peduli
dengan dia atau ingin lihat dia jatuh lewat sentuhan titik lemahnya saja."
"Benar. Kamu pikir,
kami nggak bisa melihat perilaku sok baik milikmu? Hanya Nindi si bodoh yang
bisa ditindas kamu bertahun-tahun, begitu?"
Mata Sania langsung
kemerahan. Tidak ada yang menghiraukannya setelah Ketua Kelas dan teman-teman
lainnya pergi.
Sania berdiri seorang
diri di tempat itu, tatapannya pun berubah sangat suram.
Namun, dia tetap
mempercepat langkah sebab Nando pasti akan datang.
Nindi baru keluar
gerbang sekolah dan melihat semua deretan mobil sport merah yang terparkir
dipasangi spanduk besar bertuliskan, "Semoga si Lemon selalu sukses dan
berhasil!" Pemandangan ini agak
berlebihan, ya!
No comments: