Bab 522
Nindi tidak menggubris
Darren dan langsung pergi meninggalkan ruang istirahat bersama Cakra, .
Nando awalnya ingin
mengejar mereka, tetapi Darren yang terlalu marah sampai pingsan membuatnya
terpaksa tinggal untuk mengurus pria itu.
Di luar, Nindi melirik
ke lokasi acara, "Kenapa kamu ke sini?"
"Aku nggak tenang,
makanya ke sini buat lihat."
Cakra memperhatikan
ekspresi Nindi dengan saksama. Meskipun rasanya tidak ada yang berbeda dari
biasanya, dia masih saja merasa gelisah.
Dia akhirnya bertanya,
"Tentang dana yayasan, kamu mau bagaimana selanjutnya?"
Nindi tersenyum tipis,
"Aku sengaja berakting tadi. Semakin aku terlihat nggak mau melepasnya,
semakin Sania akan percaya dengan kata-kataku."
Dia justru berharap
Sania tergoda untuk menyentuh dana sumbangan hari ini.
Cakra sebenarnya juga
memikirkan kemungkinan itu. Hanya saja, dia tadi terlalu fokus pada hal lain
hingga tidak menyadari sejauh itu.
"Dua wanita dari
keluarga konglomerat ... Bu Riska dan Bu Audy... datang hari ini. Kurasa mereka
hadir karena ingin menghormati keluarga Ciptadi."
Nindi tiba-tiba
menatapnya, "Aku baru menyadari sesuatu. Aku pernah bertemu Riska di rumah
sakit. Kamu masih ingat, 'kan?"
Ekspresi Cakra sedikit
berubah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu, "Aku ingat."
"Waktu itu dia naik
lift bersamaku. Dia seperti sedang menghindari seseorang. Tapi begitu keluar
dari lift, dia langsung balik dan kabur."
Dulu, Nindi tidak
terlalu memikirkannya. Namun, saat mengingatnya sekarang, terasa ada sesuatu
yang janggal.
Saat ini, Cakra merasa
seperti seseorang yang berjalan di atas tali, yang bisa jatuh sewaktu-waktu ke
jurang tak berdasar.
Sekarang, ibu tirinya
sudah tahu bahwa Nindi adalah gadis yang terlibat dalam kecelakaan
bertahun-tahun lalu. Dia sadar bahwa rahasia ini tidak bisa disembunyikan lebih
lama lagi.
Setelah ragu sejenak,
dia pun bertanya, "Nindi, soal perbedaan status yang disebut kakakmu
tadi.... bagaimana menurutmu?"
Dia khawatir jika Nindi
mengetahui identitas aslinya, dia akan marah karena selama ini Cakra
menyembunyikannya ... khawatir dianggap menilai Nindi adalah wanita yang
matrealistis.
Nindi berjinjit, menutup
mulut Cakra dengan lembut, "Aku nggak peduli."
Cakra menggenggam
tangannya, "Dengarkan aku dulu."
"Nggak, kamu yang
harus dengarkan. Aku nggak peduli siapa kamu, karena aku menyukai dirimu secara
pribadi."
Nindi lalu menangkup
wajahnya dengan kedua tangan, "Jangan hiraukan apa yang kakakku katakan.
Mereka semua nggak lebih penting darimu.
Di saat itu juga, hati
Cakra seakan terisi penuh oleh sesuatu yang hangat.
Yang tersisa di dalam
dirinya hanyalah rasa haru yang mendalam.
Cakra akhirnya
mengumpulkan keberanian, "Nindi, sebenarnya aku..."
Namun, sebelum dia
sempat menyelesaikan kalimatnya, Nindi menoleh ke samping dan memandang ke arah
kejauhan, "Bukankah itu Mario?"
Cakra refleks menoleh ke
belakang. Benar saja, anak
itu sedang bersembunyi
di balik semak bunga. Sayangnya, bunga-bunga itu baru saja dipindahkan, membuat
persembunyiannya jadi sia-sia. Kini, dia berdiri mematung di tempat, tertangkap
basah oleh Nindi.
Cakra menggertakkan
giginya. Dasar bocah sialan! Dia memang ditakdirkan untuk menyusahkannya, ya?
Sementara itu, Nindi
berjalan mendekat dan berdiri di belakang Mario, penasaran dengan apa yang
sedang dia lakukan.
Cakra langsung
menendangnya pelan dan membuat Mario meringis, "Aduh, siapa yang berani
menendang Tuan Muda, aku ... aku ..."
Begitu tatapannya
bertemu dengan Cakra, nyalinya langsung ciut tak tertahankan.
Nindi yang menyaksikan
adegan itu sempat terkejut. Dia pikir Mario akan marah setelah ditendang,
tetapi bocah itu justru diam saja, seolah sudah terbiasa.
Mungkinkah hubungan
mereka memang sedekat itu?
Nindi menatap Mario
dengan penuh penasaran, Kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Aku... aku datang
buat cari ibuku soalnya ada sesuatu. Tapi begitu sampai sini, ternyata dia
sudah pergi."
Mario hanya bisa
menggunakan alasan itu.
Nindi tahu bahwa hari
ini Riska datang ke acara amal, "Ngomong-ngomong, aku harus berterima
kasih pada Bu Riska karena sudah membantuku tadi. Aku mau mentraktirnya makan
sebagai bentuk terima kasih."
"Itu bagus juga!
Lagi pula, cepat atau lambat kita semua akan menjadi satu keluarga."
Nindi tertawa kecil,
merasa heran, "Keluarga apanya? Jangan bercanda."
"Kakakku belum
kasih tahu kamu, ya?"
Mario melirik ke arah
Cakra, mengira bahwa sang kakak sudah menjelaskan semuanya pada Nindi.
Akan tetapi, melihat
reaksi mereka... sepertinya belum, 'kan?
Saat itu juga, telapak
tangan Cakra terasa dingin karena keringat. Día menatap Nindi dengan gugup,
" Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."
PROMO!!! Semua Novel Setengah Harga
Cek https://lynk.id/novelterjemahan
Bab Lengkap
No comments: